Akhirat yang Duniawi
Setiap anak muda biasanya menempuh beberapa fase di hidup. Dari fase bucin, fase alay, fase anak gaul, fase aktivis, fase sholeh, dan banyak lainnya. Saya pun demikian. Tapi, secara pribadi, ada satu fase favorit dari semua fase yang pernah saya jalani: fase filsuf. Di tahap ini, karena keranjingan membaca buku filsafat, saya selalu mempertanyakan segala macam hal, terutama fondasi dari hal-hal yang saya percaya saat itu. Fase ini paling saya sukai, karena paling seru dan mencerahkan.
Salah satu hal yang saya pertanyakan saat itu adalah soal akhirat. Akhirat merupakan konsep dasar dalam hampir ada di semua agama, meskipun di penafsiran yang berbeda-beda; dari reinkarnasi, nirvana, hingga surga neraka. Tapi, basisnya sama: kita diberi waktu dari lahir hingga mati, dimana yang dilakukan di masa kita di dunia akan menentukan bagaimana kita nanti setelahnya. Yang amalannya baik, masuk surga. Yang buruk, masuk neraka. Dan imbalan akhir ini, baik surga maupun neraka, akan berlangsung selama-lamanya.
Semakin dipikir lebih dalam, akhirat secara konsep ini absurd sekali bagi saya saat itu. Bayangkan, kita hanya hidup di dunia 60–100 tahun saja, tapi dari kehidupan yang singkat ini menjadi penentu apakah kita akan disiksa atau mendapatkan nikmat selama-lamanya. 60 tahun, untuk SELAMA-LAMANYA. Dan ini kan, bisa lama sekali, infinitely. Bisa satu milyar tahun, seratus milyar tahun. Itu, kan, benar-benar lama. Coba saja renungkan, seberapa lama itu. Maka dari itu, pikir saya, Tuhan macam apa yang memberikan ganjaran selama-lamanya hanya berdasarkan hidup di periode yang sangat singkat? Absurd sekali, kan?
Iman Saja, Katanya
Di sisi lain, akhirat ini sesuatu yang tidak empiris; tidak ada bukti, tidak bisa diuji. Tidak falsifiable. Jadi, dalam sudut pandang logis dan saintifik, akhirat memang absurd. Mungkin, satu-satunya cara observasi secara empiris, harus menunggu nanti kiamat, padang mahsyar, lalu hari penghakiman. Kalau memang itu benar-benar ada, kita baru bisa langsung melihatnya. Tidak ada cara lain yang bisa menguji hipotesis terkait akhirat ini.
Saya sempat menanyakan ini juga ke beberapa guru agama, sayangnya jawabannya tidak terlalu memuaskan. Ujung-ujungnya dikembalikan lagi ke pernyataan bahwa beragama tidak bisa sepenuhnya dengan logika, tapi harus dengan iman. Nah, di sisi lain, konstruk akhirat dengan rukun iman yang lain ini memiliki koherensi yang kuat. Sehingga, secara logis, jika satu hal tidak bisa diterima premisnya, maka bagaimana caranya saya bisa menerima premis yang lain? Jika akhirat ini absurd, karena tidak ada Tuhan yang menghakimi ciptaan-Nya hanya berdasarkan 60 tahun di dunia, maka jangan-jangan tidak ada Tuhan. Jika Tuhan tidak ada, Rasul-Nya, kitab-Nya, malaikat-Nya, dan takdir-Nya juga berart tidak ada. Jadi, apa yang perlu diimani?
Di tengah kegalauan mempertanyakan satu hal yang membuat saya terjerumus ke pertanyaan lain, akhirnya saya berputar terus untuk mencari jawaban, yang hingga satu titik juga masih belum mencapai kesimpulan. Saya jadi pusing sendiri, meragukan keyakinan yang seumur hidup diwariskan. Saya jadi paham kenapa banyak pembelajar filsafat tidak percaya agama.
Akhirat Secara Pragmatis
Untungnya bagi saya, fase filsuf ini selesai dan bermetamorfosis menjadi fase pragmatis. Fase ini adalah dimana saya mulai punya otak bisnis, jadi berpikir yang penting praktikal dan bermanfaat, berdasarkan risk and gain. Setelah fase filsuf tadi yang meragukan keseluruhan konstruk dari Tuhan hingga akhirat, disertai dengan perkenalan godaan dunia dalam bentuk harta, semakin malas lah saya beragama. Sampai di satu waktu, saya tidak sengaja membaca kembali ayat tentang surga dan neraka.
Di hampir semua ayat yang tertulis, digambarkan bahwa surga ini luar biasa indah, dipenuhi berbagai kenikmatan. Neraka, sebaliknya, mengerikan sekali penuh banyak kejamnya siksaan. Jadi, di konteks risk and gain, surga ini gain-nya luar biasa besar, sedangkan neraka risk-nya juga luar biasa akbar. Lalu, jika dikalikan dengan konsep akhirat tadi yang secara satuan waktu infinite, maka risk dan gain nya menjadi sangat sangat SANGAT besar. Infinitely huge. Di tengah pemikiran itu, tiba-tiba terceletuk: bagaimana jika akhirat, surga, neraka, Tuhan, semuanya benar ada?
Ini membuat saya jadi berpikir terbalik. Kalau ini benar, dan saya sama sekali tidak beriman dan berbuat baik di dunia, maka di akhirat nanti saya sama sekali tidak punya proteksi untuk menghindari resiko sangat besar dalam wujud neraka, dan tidak memiliki posisi tawar untuk mendapatkan benefit yang sangat besar dalam wujud surga. Dan jika ini memang satu-satunya cara untuk bisa menguji apakah akhirat benar ada atau tidak, maka di titik itu sudah terlalu terlambat untuk saya bisa kembali. Ini bukan eksperimentasi ilmiah yang saat dampak penemuan santifiknya minim, bisa diputarbalikkan. Jika hipotesis saya bahwa “akhirat tidak ada” ternyata teruji salah, maka konsekuensinya akan selama-lamanya. Benar-benar lama.
Di titik itu lah saya mendapatkan simpulan, bukan melalui jawaban filosofis, tapi dengan perspektif yang sangat pragmatis dan matematis. Dengan logika risk and gain tadi, opsi paling baik untuk saya mendapatkan gain optimal dan menghindari risk yang besar adalah dengan beriman dan beribadah. Karena, jika saya beribadah lalu ternyata akhirat memang ada, berarti saya bisa mendapatkan surga dan menghindari neraka. Dan jika ternyata akhirat tidak ada, ya sudah, tidak ada ruginya. Sebaliknya, jika ternyata saya tidak beribadah tapi akhirat benar-benar ada, maka saya mendapatkan resiko besar. Dan jika ternyata tidak ada, saya hanya ada di posisi yang sama saja dengan yang beribadah: tidak ada untungnya.
Asuransi Surga/Neraka
Masih di konteks yang sama, ibadah, iman, dan amal juga pada dasarnya tidak terlalu memberatkan. Anggaplah setidak-tidaknya kita menjalankan rukun Islam, dan kita menempatkan angka di setiap poinnya. Maka, syahadat ini hanya satu kalimat seumur hidup. Sholat (wajib), hanya membutuhkan waktu kurang lebih 50 menit dari total 1440 menit setiap harinya, atau 3.4% dari waktu kita di dunia. Puasa (wajib), hanya 1 per 12 bulan setiap tahun. Zakat hanya 2.5% dari harta. Dan haji, hanya jika mampu, kurang lebih menghabiskan 0.5% hingga 3.5% dari total pendapatan seumur hidup bagi rerata muslim kelas menengah di Indonesia.
Jadi, dengan interpretasi matematis seperti ini, ibadah di dunia ini sama saja seperti membayar premi di asuransi kesehatan dan asuransi jiwa. Di asuransi kesehatan, ketika kita membayar premi tapi kita tidak sakit parah, kita hanya kehilangan ongkos premi yang jumlahnya, dibanding pendapatan bulanan kita, masih kecil. Sementara itu, kalau kita ujungnya sakit parah, kita memiliki proteksi dari resiko besar ini. Di asuransi jiwa juga sama. Ketika kita membayar premi lalu meninggal di usia tertentu, kita bisa mendapatkan klaim yang lebih besar dibanding jumlah premi yang kita bayar. Again, risk and gain. Hanya saja, di konteks surga dan neraka, risk and gain nya jauh lebih besar, sehingga seharusnya membayar ‘premi’ yang kecil tadi jadi pilihan yang jauh lebih masuk akal.
Simpulan ini yang akhirnya jadi jawaban akhir saya dari pertanyaan filosofis di fase tadi. Lucu memang; pertanyaan filosofis, tapi saya menemukan jawaban yang memuaskan pribadi dengan sangat pragmatis. Keraguan soal akhirat, yang dijawab dengan analogi yang sangat duniawi.