Ambisius Non-Materialistis

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
11 min readApr 25, 2023

--

Di Ramadan kemarin, saya menjamu makan malam pemimpin senior di salah satu perusahaan raksasa teknologi di Tiongkok. Ada 3 orang asli dari Beijing yang ke Indonesia untuk mengeksplorasi beberapa peluang ekspansi dan investasi. Diskusinya mayoritas soal bisnis, dari eFishery, agritech, market investasi, AI, hingga industri semikonduktor. Obrolan ini menarik, tapi tidak ada yang mencolok, karena mayoritas adalah hal-hal yang pernah saya baca di berita. Sampai ketika, di akhir-akhir diskusi, salah satu dari mereka tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuat saya agak cukup terkejut. “Why do young people in Indonesia is too laid back?

Awal dengar pertanyaan ini, saya agak sedikit tersinggung juga. Apa maksudnya dia bilang anak muda kita ini santai-santai? Apa dia anggap kita ini generasi rebahan? Enak saja! Padahal, kan, memang iya… Joke aside, yang saya penasaran, apa observasi dia yang berujung dari kesimpulan ini.

Why do you think that we’re laid back?”, tanya saya.

Just based on my observation. For example, in business, look at the ecommerce market. Local champions like Tokopedia and Bukalapak used to be the market leaders, and clear winners. Shopee came and took over quickly. Now, Tiktok is here and getting bigger than Shopee. Tokopedia & Bukalapak did nothing, they’re like, ‘Okay, we lost’”, tungkas dia. Saya mendengar sambil mengangguk, mengakui kalau ini ada benarnya.

I also spoke to a few ojek riders and restaurant merchants. They’re all quite young. They’re making $250 a month, and are okay with it. They don’t have any plan to get more. It’s like they don’t have the drive to be rich”, tambahnya lagi.

Observasinya saya rasa cukup tepat. Sambil mencoba mencerna lebih jauh, saya jadi penasaran, seperti apa di Tiongkok sana sampai dia tetiba menyampaikan pertanyaan tadi. “How is it compared to people in China?”, balas saya.

Well, in China, almost everyone wants to succeed. Young people in the city wants to be rich and successful, so they work hard and learn like crazy. They hustle extremely hard, really hard. Very contrast with here”, jawabnya.

Hmm, I see, but, why? What drives them to be THAT hungry to succeed?”, tanya saya lagi.

I‘m not sure. I think it’s part of the culture that has been built thousands of years ago since old dynasty. Commoners back then, if they work hard, can be part of government officials. It’s like merit-based. And, as you know, the countries had its hardships, so it’s like a default traits to work hard”, tambahnya.

So there goes your answer. Culture, right?

Well, yea, maybe. In that case, why Indonesia has more laid-back culture, then?”, tanya dia, mengembalikan ke topik awal yang diangkat. Saya tersenyum, padahal sebenarnya berpikir keras. Saya punya pendapat tentang ini, dan bisa jadi cukup kontroversial. Tapi, saya harus putar otak mencari cara penyampaian agar tidak terdengar inferior. Karena, memang tidak.

Akhirat, Bukan Dunia

Saya sampaikan bahwa Indonesia ini negara yang secara umum cukup relijius. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, kultur ke-Islam-an sangat kental. Dari pergerakan akar rumput pesantren hingga politik modern yang fundamentalis, membentuk kultur masyarakatnya yang tidak berorientasi pada keduniaan. Masyarakat kita umumnya percaya bahwa yang lebih penting bukan hidup di dunia, tapi justru di akhirat nanti. Yang penting menjadi orang yang baik, yang beramal baik, yang bermanfaat bagi sekitar. Catatan amal baik ini yang nanti akan jadi bekal, bukan harta yang dibawa. Kultur ini, yang menurut saya, jadi perbedaan utama dengan orang-orang di Tiongkok yang mengejar definisi kesuksesan di konteks yang materialistis.

Awalnya mereka mengernyitkan dahi, dan sedikit berbalik agak tersinggung, mungkin dalam hati dia bergumam, “Maksud loe gue cuma ngejar duit aja?! Padahal, mah, iya…” Tapi, supaya lebih mudah dipahami, saya mencoba menganalogikan ini dengan prinsip di Buddhism, dan membandingkan kultur orang-orang di Tiongkok yang lekat dengan prinsip ini dan yang tidak. Akhirnya mereka mengangguk paham.

Saya juga elaborasi, bahwa kultur atas ini dibentuk dan diturunkan melalui pendidikan keluarga. Sebelumnya, mereka menceritakan bagaimana orang tua di Tiongkok sudah biasa memberikan tekanan untuk anak-anaknya belajar dan bisa sukses, terutama karena latar belakang ekonomi mereka di generasi sebelumnya sangat buruk dan persaingan yang tinggi dengan satu miliar orang lainnya. Tekanan ini juga yang akhirnya, secara turun temurun, jadi membentuk persepsi mereka tentang apa yang penting untuk dikejar: materi dan perbaikan status ekonomi.

Sementara, di Indonesia, agaknya tidak demikian. Pandangan orang tua kita terhadap kesuksesan tidak terbatas ke materi, makanya sejak kecil biasanya orang tua mendidik anaknya untuk belajar mengaji. Supaya sejak kecil, ada bekal agama untuk ke depannya. Saya sendiri mengalami ini. Di titik sekarang, saat sudah memiliki beberapa pencapaian dan perekonomian keluarga bisa tumbuh, yang dinasehati Ibu saya tetap soal ibadah. “Aa, sholat jangan lupa. Mama mah nggak bangga kalo Aa sukses tapi ninggalin sholat”. Saya selalu tersenyum setiap dinasehati ini. Anaknya berhasil membangun perusahaan teknologi perikanan terbesar di dunia, memiliki lebih dari 2000 karyawan, mendapatkan banyak prestasi, tapi yang Ibu saya pedulikan untuk saya tidak lupa sholat. Kultur berorientasi akhirat ini yang di masyarakat kita sangat lekat dan pekat.

Paradoks Akhirat

Setelah menceritakan ini, tamu dari China tadi cukup mendapatkan jawabannya. Di satu sisi, mereka jadi lebih mengapresiasi perspektif yang berbeda, yang ternyata itu tidak lebih buruk juga. Di sisi lain, mereka jadi bisa membuat kesimpulan, bahwa jika memang itu kulturnya, maka di konteks bisnis yang kapitalis, ini bisa menjadikan kita kalah dengan yang lain. “I appreciate the culture difference, but if I can be brutally honest, in business world, that culture can’t win you a market”. Tentu saja ini ada benarnya.

Sebagai orang yang dididik dengan kultur berorientasi ke akhirat, sementara hidup mengajarkan saya untuk ambisius, saya selalu menemukan akhirat ini sebagai konsep yang menjebak kita dalam paradoks. Paradoksnya adalah dimana dengan mempercayai akhirat, kita jadi mengkerdilkan apapun upaya yang bisa kita lakukan di dunia. Segala progress, perubahan, pencapaian, kita asumsikan sebagai hal yang “duniawi”, hal yang tidak ada artinya karena tidak dibawa mati. Paradoks ini akhirnya menyempitkan aksi kita di hal-hal yang bersifat non ibadah ritual, untuk mencapai hal-hal besar lain di hidup. Dan karena akhirat ini waktu yang sangat jauh di depan, ini bisa mengarahkan kita untuk tidak memikirkan masa sekarang. Karena kita mengejar kebahagiaan sebenarnya “nanti”, kita jadi tidak benar-benar berupaya untuk menyelesaikan permasalahan dan merealisasikan potensi “sekarang”.

Saya pernah bertemu dengan salah satu pembudidaya di Jawa Tengah. Dia sudah berbudidaya hampir 12 tahun, turunan dari orang tuanya yang berbudidaya sudah 30 tahun. Selama itu, kolamnya hanya 2, pendapatannya terbatas. Saat saya mengunjungi dia, saya mencoba menawarkan produk layanan yang bisa membantu bisnisnya. Saya juga menyampaikan bagaimana pembudidaya lain di sekitar sana sudah mendapatkan keuntungan yang meningkat, bahkan bisa dua kali lipat. Saya kira trik jualan saya ampuh, karena keuntungannya jelas, manfaatnya terlihat, tapi nyatanya respon dia malah sebaliknya. “Nggak perlu tho mas naik pendapatan dua kali, saya 12 taun udah begini masih hidup-hidup aja kok. Yang penting bisa makan, bisa ibadah. Kan seneng-senengnya nanti di akhirat?”.

Mendengar responnya, saya tentunya hanya bisa tersenyum. Apakah pandangan dia salah? Sama sekali tidak. Saya sangat menghargai prinsip hidupnya dan definisi bahagianya yang sederhana. Tapi, saya tidak bisa tidak heran; saat hidup menawarkan kesempatan bagi dia untuk lebih maju, bayangan tentang akhirat justru menjadi sesuatu yang menahan dia untuk bisa mengambil langkah. Dan tidak terhitung berapa banyak orang-orang di daerah yang saya temui yang memiliki mentalitas yang sama seperti ini.

Amal, Bukan Material

Tentu saja, paradoks akhirat tadi bukan ada karena dari sananya. Secara konsep, saya yakin, ini tidak dirancang demikian. Di pola pikir semacam ini, akhirat menjadi seolah membelenggu kita, justru karena pandangan sempit kita terhadap hal-hal jangka pendek yang berkontribusi ke akhirat tadi. Kita membatasi diri kita untuk melihat bahwa yang penting hanya ibadah ritual, bahwa ini yang kelak menjadi bekal di akhirat. Padahal, tidak juga. Segala bentuk karya positif bisa diterjemahkan sebagai amal, yang juga kelak menjadi hitungan timbangan kita setelah mati. Dan yang lebih penting lagi, karya positif ini seharusnya bisa menjadi umpan balik cepat yang mendorong kita untuk bisa tetep berkembang, untuk bisa lebih banyak beramal.

Inilah kenapa, di contoh Tiongkok tadi, kultur yang berorientasi ke material justru mendorong mobilitas vertikal dengan lebih tinggi. Karena, materi itu mudah dan cepat untuk dihitung, diukur, dan ditargetkan. Jika kita ingin punya mobil Lamborghini, kita bisa tahu berapa harganya, berapa uang kita sekarang, dan butuh berapa lagi uang yang kita dapatkan. Akhirnya, orang yang mengejar untuk membeli Lambo ini dengan serius bisa banting tulang, dan di setiap harinya dia bisa mudah mengukur sejauh apa dia dengan mimpi Lambo tadi. Kalau masih jauh, dia bisa bekerja lebih keras. Umpan balik yang terukur, nyata, dan jangka pendek, mendorong perubahan dia lebih drastis. Setelah dia mendapatkan Lamborghini, dia bisa mendorong lagi mimpinya untuk punya rumah mewah 16 kamar. Dan menggunakan pola yang sama seperti tadi. Apakah mimpi mendapatkan segala macam kemewahan ini lebih mulia? Tidak juga. Tapi, yang pasti, ini efektif untuk menjadikan pemimpinya bergerak dan bekerja.

Dibuat dengan penuh talenta melalu Ms Paint

Di sisi lain, akhirat itu absurd, sangat jangka panjang, dan sulit diukur. Kalau mimpi kita “masuk surga”, kita akan beribadah setiap hari, dan mencoba konsisten melakukan itu. Tapi, kita tidak bisa mengukur sudah dimana kita dan kita tidak tahu apa yang perlu kita tambah. Kita merasa kalau sudah beribadah, artinya cukup. Padahal, belum tentu. Jangan-jangan, timbangan amal kita masih kurang? Jangan-jangan, untuk memenuhi itu, kita harus bersedekah 1000 kali lebih banyak? Jangan-jangan satu kali haji tidak cukup, tapi kita harus menghajikan 10.000 orang? Jangan-jangan, puasa sendiri saja tidak cukup, tapi kita perlu menyediakan berbuka untuk 100 ribu orang yang berpuasa? Umpan balik ini tidak bisa kita ketahui sampai akhir nanti, dan tidak mudah untuk diukur. Sehingga, target semacam ini syarat akan stagnansi. Karena, kalau kita tidak tahu apa yang harus kita perbaiki, bagaimana kita bisa melakukan perbaikan? Ini berbeda kontras dengan target harta yang sebelumnya disampaikan, dimana kita bisa selalu lihat dengan cepat, dan mendorong kita untuk juga bergerak lebih cepat.

Yang menariknya adalah, jika dipikir-pikir, secara mendasar kedua hal ini tidak sebegitu kontrasnya. Karena, sumber-sumber pahala yang disebutkan tadi, akan lebih mudah dilakukan saat kita memiliki banyak harta; dan harta bisa mudah diukur di jangka pendek dibanding akhirat. Jadi, kemapanan material, tidak melulu soal hal-hal yang material. Dengan kata lain, jika memang pendekatan material ini lebih efektif karena memiliki umpan balik cepat dan terukur, kita tetap bisa menggunakannya untuk tujuan yang non-material.

Ambisius Non-Materialistis

Anggap saja, kita memiliki target untuk memiliki harta Rp10 miliar. Ini sama-sama bisa diukur. Kita bisa tahu sejauh apa kita dari target ini. Dan saat ini kita jadikan target yang serius, kita bisa bergerak untuk mengejarnya. Target ini, terkesan sangat materialistis karena targetnya kekayaan. Padahal, belum tentu; tergantung bagaimana penggunaannya. Orang yang berorientasi material, akan menggunakan Rp10 miliar tadi untuk membeli kemewahan bagi dirinya sendiri. Tapi, jika kita tidak berorientasi ke material, termasuk target akhirat, kita bisa menggunakan harta ini untuk hal-hal lain yang kebermanfaatannya lebih besar.

Di konteks ibadah, Rp10 miliar tadi bisa diutilisasi ke berbagai macam bentuk; menunaikan zakat lebih banyak, memberi makan anak yatim, membangun lembaga pendidikan keagamaan. Di konteks keluarga, Rp10 miliar bisa diutilisasi untuk mendapatkan penghidupan yang layak, menempatkan pendidikan anak ke sekolah yang terbaik, membahagiakan orang tua. Di konteks sosial, Rp10 miliar bisa digunakan untuk membangun sekolah, membantu tetangga kita yang miskin, memberikan sumbangan ke orang lain yang sakit. Dan setiap utilisasi harta ini bisa terkonversi ke pahala, yang langsung berkontribusi ke target akhirat tadi.

Jadi, jika argumentasi soal kultur kita yang relijius menghambat kita untuk bisa memiliki dorongan untuk bekerja keras, ini tidak sepenuhnya benar. Yang salah bukan pandangan relijiusnya tadi, tapi mindset kita yang terlalu sempit untuk menilai hal-hal yang berkontribusi ke target non-material.

Dan ini berlaku bukan hanya di konteks relijius-akhirat, tapi juga ke bentuk idealisme lain; yang cenderung besar, jangka panjang, dan tidak bisa terukur. Inilah kenapa, seringkali orang-orang idealis di sekitar kita, cenderung tidak terlalu mapan harta. Karena, bagi mereka yang penting perjuangan nilai-nilai luhur dan cita-cita mulia, harta ini hal yang terlalu rendah untuk jadi sesuatu yang dikejar. Tentu saja, saya 100% sepakat dengan pandangan ini. Tapi, saya juga percaya, materi sangat bisa jadi alat yang efektif untuk merealisasikan nilai-nilai tadi.

Jika target kita besar, misalnya, membasmi kelaparan. Maka, kemapanan material bisa membantu kita melakukan langkah-langkah raksasa, untuk mendekatkan kita ke tujuan. Sama halnya dengan target idealisme lain; memerangi global warming, konservasi lingkungan, penyediaan layanan kesehatan, keadilan sosial, dan berbagai macam mimpi mulia lainnya. Semua hal ini, akan bisa lebih cepat dan besar jika didukung oleh sumber daya yang besar juga. Jika kita menargetkan kekayaan Rp1 triliun, tapi kita gunakan untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan, dan bukan untuk kemewahan sendiri, maka target harta tadi bukan target yang rendahan dan materialistis. Dan di konteks ini, semakin besar target materi kita, semakin besar juga kontribusi yang bisa kita torehkan.

Di titik inilah ambisi yang non-materialistis memiliki keunggulan yang jauh lebih besar dibanding materi. Jika kita hanya mengejar materi, kita memiliki batasan kepuasan yang bisa kita kejar. Anggaplah kita sudah punya rumah mewah, mobil termahal, investasi banyak, kapal pesiar, jam tangan berlian, dan berbagai macam hal yang kita bisa beli dengan harta tak terhingga; kita pasti akan ada di titik dimana tingkat peningkatan kepuasan kita sudah ada di batasnya. Tentu, selalu ada hal yang bisa dibeli, tapi perubahan tingkat kepuasan kita tidak akan sebegitu besarnya untuk bisa menjadi drive yang konsisten. Di awal, saat harta kita meningkat 1000x, dari 10 juta ke 10 miliar, dimana kita bisa membeli rumah pertama, mobil pertama, dan jalan-jalan ke luar negeri ke tempat yang kita dambakan; tingkat kepuasannya akan luar biasa besar. Ini yang memberikan motivasi kita untuk mengejar harta lebih banyak. Tapi, jika meningkat 1000x dari itu, dari 10 miliar ke 10 triliun; peningkatan kebahagiaan kita, jika hanya berorientasi ke materi yang bisa dibeli, tidak akan meningkat 1000 kali, dan tidak lebih drastis dari titik awal tadi. Di bagian ini lah, yang mengejar materi justru akan mengalami stagnansi, karena kehabisan motivasi.

Sebaliknya, yang berambisi besar non-material, baik itu urusan akhirat maupun memperjuangkan keadilan sosial, atap batas kepuasannya sangat tinggi. Justru, di target materi yang semakin besar, utilisasinya akan lebih eksponensial, di skala yang jauh lebih signifikan perbedaannya. Kalau kita hanya memiliki harta Rp10 miliar, tapi ingin menyelesaikan permasalah global warming, justru aktivitas kita akan sangat terbatas. Tapi, jika harta kita 1000x lebih besar, di Rp10 triliun, jauh lebih banyak hal-hal besar yang kita bisa lakukan demi menyelesaikan permasalahan global tadi. Kita tidak pernah kehabisan motivasi. Kita akan bisa tetap berambisi, karena justru yang kita kejar adalah hal-hal bersifat yang non-materi.

Oleh karena itu, kuncinya adalah pola pikir yang tepat, bahwa kedua hal ini tidak harus saling menegasikan. Kita bisa memiliki target material yang efektif untuk diukur, agar kita bisa kaya akan harta. Tapi, jangan sampai kita terjebak untuk hanya menggunakan ini ke kemewahan pribadi saja. Kita harus selalu bisa kita mendayagunakannya untuk target non-material kita, permasalahan besar yang ingin kita selesaikan, mimpi mulia yang ingin kita capai; agar kita bisa selalu kaya akan makna.

--

--