Bambu Runcing Kami Teknologi
Saya memulai perjalanan saya di dunia perikanan budidaya 12 tahun yang lalu, saat saya masih mahasiswa. Karena terinspirasi dari satu mata kuliah tentang akuakultur, secara impulsif terdorong untuk memulai bisnis ikan lele. Berhari-hari saya mencari lokasi untuk membuka kolam, sampai saya bertemu dengan satu mantan petani ikan di Bandung Selatan yang menyewakan kolamnya. Hanya Rp 400 Ribu saja untuk kolam seluas 150 meter persegi. Murah sekali. Saya bagai mendapat durian runtuh. Tanpa membuang waktu, saya langsung memulai budidaya lele pertama saya. Sebagai pembudidaya pemula, siklus pertama yang berjalan lancar hingga panen. Saya merasa berhasil menjadi pembudidaya.
Namun, saat itu tidak saya sadari, ternyata tantangan menjadi pembudidaya bukan hanya saat membudidayakan ikan dan agar bisa panen, tapi justru proses setelahnya. Saya kesulitan menjual hasil panen yang saya lakukan selama 2,5 bulan. Saya mencoba jual ke warung-warung pecel lele di pinggir jalan, mereka menolak karena sudah punya pemasok langganan. Saya mencoba masuk menawarkan ke pedagang pasar tradisional, mereka pun tidak mau dengan alasan yang sejenis. “Mas, kalau di sini semua pedagang udah dipegang sama si Bapak X sama Bapak Y, sulit untuk masuk disini”, ujar salah satu penjual saat saya menawarkan ikan langsung pada pedagang di pasar tersebut. Monopoli. Kata kunci yang saya temukan dan sadari saat itu. Hal ini terjadi di semua kanal distribusi. Namun, karena saya harus panen ikan hidup dan saat itu juga demi mempertahankan ukuran yang diminta pasar, saya mau tidak mau harus menjual ke satu-satunya pembeli yang bisa saya dapatkan: tengkulak. Harganya dia yang atur, dengan selisih margin kotor tidak sampai 800 perak untuk 2 kwintal ikan yang saya hasilkan. Hampir 3 bulan berbudidaya, saya hanya mendapatkan keuntungan tidak sampai Rp 160 Ribu. Dengan modal sendiri, tenaga, resiko, dan waktu. Sementara si tengkulak, hanya dari berdagang sehari, mendapatkan keuntungan lebih besar 3 kali.
Dijajah Pemburu Rente dan Monopoli
Tahun berganti, saya mendengar cerita yang sama. Ada Pak Suhendar, pembudidaya di Cirata yang menjadi bagian dari kelompok petani yang dikelola oleh tengkulak, dimana harga beli pakan, hasil panen, jatuh tempo, hingga harga jual ikannya sudah diatur, tentunya dengan keuntungan yang seadanya. “Saya jadi nggak ngerasa punya kolam, dan merasa kehilangan identitas sebagai Petani”, tutur beliau. Pak Suhendar jadi kesulitan untuk mengembangkan budidayanya, terpatok oleh harga pasar yang ditetapkan sejak awal. Ini karena rantai distribusi lagi-lagi, dimonopoli.
Ada juga Pak Arif, petambak udang tradisional di Aceh yang juga menjadi bagian dari sebuah koperasi. Sama seperti tengkulak, koperasi ini juga memberikan pakan dengan pembayaran setelah panen. Tapi, harga pakannya dikenakan bunga hingga hampir 20% lebih mahal dibanding harga eceran. Bukan hanya itu, dari hasil panen, ada potongan dari timbangan sebesar 5%. Dengan harga jual panen yang bisa 6 kali lebih besar dibanding harga pakan, ini sama saja ada tambahan bunga 30%. Petambak yang telah melakukan hal ini bertahun-tahun tidak merasa meningkat kesejahteraannya. Jelas saja, mereka dikekang pinjaman dengan bunga hampir 60% setiap siklusnya, lebih mahal dibanding kredit formal tanpa agunan. “Saya tahu sih ini emang tinggi, tapi ya gimana lagi, Pak, saya nggak ada pilihan lain. Bank mana mau kasih pinjaman ke petambak kecil dan lokasinya jauh seperti kami”, keluhnya.
Hal ini bukan hanya terjadi di dua orang ini saja. Ini dialami oleh ratusan ribu pembudidaya, dari petambak udang tradisional di Aceh, pembudidaya lele di Indramayu, hingga petani ikan nila di Nusa Tenggara. Cerita yang sama juga terjadi di petani padi hingga hortikultura. Pola yang sama terjadi di sektor perekonomian lainnya. Bangsa kita memang merdeka dari Jepang dan Belanda sejak tahun 1945, tapi belum sepenuhnya dari penjajah di wujud lainnya. Di konteks pertanian dan perikanan, hingga detik ini, para petani kita masih dikekang proses ekonomi yang tidak adil secara struktural. Yang membatasi hak mereka mendapatkan akses distribusi dan pasar. Yang akhirnya membabati peluang mereka untuk tumbuh dan sejahtera.
Petani yang miskin dan tidak berpendidikan, akhirnya tetap ada di garis yang sama. Sama halnya dengan anak-anak generasi penerusnya. Mereka akan terus terjajah dalam lingkaran setan kemiskinan, yang sayangnya dengan sengaja dirancang oleh segelintir orang yang memonopoli proses ekonomi demi kesejahteraan pribadi.
Teknologi yang Memerdekakan
Dulu, rakyat yang dijajah tidak berdaya, mungkin tidak akan mampu melawan penjajah jika tidak dibekali pengetahuan dan senjata. Dan tentunya, tidak maju jika tidak bersatu. Dengan menarik hikmah dari sejarah dan fakta bahwa monopoli ini menjajah, maka para petani dan masyarakat kelas bawah perlu diberikan senjata dan dipersatukan untuk bisa mengubah keadaan. Tapi, alih-alih bambu runcing, senjata yang bisa lebih kuat di era sekarang adalah teknologi.
Dengan kekuatan teknologi digital, akses terhadap layanan yang sebelumnya dimonopoli, kali ini bisa didapatkan oleh para pembudidaya dan petani. Salah satu contohnya yang kami lakukan di eFishery. Dengan memanfaatkan teknologi, para pembudidaya bisa memiliki produktivitas serta keuntungan lebih tinggi dengan produk IoT yang memberi pakan ikan secara otomatis. Dengan algoritma kredit skor, mereka yang ada di pelosok bisa mendapatkan akses ke pembiayaan formal dari perusahaan tekfin dan perbankan. Dengan memanfaatkan data serta platform yang ada, mereka juga bisa menjual hasil panennya langsung ke pembeli akhir di kota-kota besar, dengan harga yang lebih baik.
Pak Suhendar, pembudidaya yang diceritakan di atas, jadi salah satu contoh bagaimana dia bisa merdeka karena teknologi. Satu tahun lalu, pembudidaya ini bergabung ke ekosistem eFishery lalu mendapatkan eFishery Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), sebuah sistem yang menghubungkan pembudidaya dengan layanan pembiayaan dengan memanfaatkan data serta aplikasi digital. “Saya sangat merasakan harapan begitu bergabung dengan eFishery. Saya bisa pilih mau pake jenis pakan yang mana, pembayaran berapa lama, dan saya jadi punya kebebasan untuk jual ke pasar yang mana dan harga berapa. Saya punya pilihan untuk menentukan. Saya jadi merasakan pertumbuhan semenjak bergabung. Yang paling penting, saya serasa mendapatkan identitas saya kembali sebagai Pembudidaya.”, kata Beliau.
Yang sebelumnya terkekang oleh monopoli tengkulak, beliau sekarang bisa bebas memilih pakan serta pasar yang paling optimal untuk bisnisnya, karena aksesnya terbuka oleh teknologi. Hanya dalam satu tahun, Pak Suhendar kini memiliki 60 kolam apung dengan pendapatan kotor lebih dari Rp 180 Juta. “Sudah bisa milih, ga dikuasai oleh beberapa orang saja sekarang. Punya pilihan & kesempatan bertumbuh. Merdeka ini sudah lebih dari cukup bagi saya sebagai Pembudidaya”, katanya lagi.
Cerita baik semacam ini juga perlahan-lahan mulai banyak terdengar dari ribuan pembudidaya lainnya yang tergabung di eFishery. Ada satu pembudidaya lele yang terlepas dari rentenir, mendapatkan pinjaman yang lebih ringan, harga pakan yang lebih terjangkau hingga akhirnya kolamnya bertambah dari 5 hingga 21 kolam. Ada petani ikan mas yang menggunakan teknologi otomasi hingga bisa lebih produktif, lalu berdiri sendiri hingga jumlah kolamnya meningkat 6 kali lipat. Ada satu pembudidaya ikan patin, yang karena pendapatannya bertambah, ia bisa menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi ternama. Dia pun optimis bahwa kehidupan anak-anaknya akan jauh lebih cerah, tidak seperti masa dulunya yang sempat terjajah.
Ribuan pembudidaya ini memanfaatkan teknologi, lalu aksesnya terbuka sehingga bisa merdeka. Teknologi melepaskan mereka dari jerat ekonomi, yang kemudian menjadikan mereka berdaya untuk lebih sejahtera. Ini lah kekuatan yang paling esensial dari teknologi digital. Inovasi semacam ini bisa memberikan desentralisasi akses bagi semua orang di pelosok Nusantara, untuk bisa menjadi bagian dari ekonomi, tanpa lagi dimonopoli. Oleh karena itu, inovasi harus bisa dimultiplikasi. Adopsi ponsel pintar yang terjangkau, infrastruktur yang semakin memadai, serta layanan dan konten daring yang relevan harus didorong lebih cepat. Solusi-solusi yang dibangun oleh perusahaan rintisan, harus bisa secara tajam menjawab masalah seluruh lapisan masyarakat hingga yang ada di piramida dasar, bukan hanya yang tinggal di kota besar. Dan seluruh pihak perlu bisa bersama-sama mengakselerasi hal ini bisa terjadi. Karena, bisa jadi, teknologi adalah harapan terbesar kita untuk bisa benar-benar merdeka.