Dansa, Kucing, Bekasi

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
3 min readApr 21, 2022

Disclaimer: Tulisan ini ditulis dalam rangka tantangan #10HariMenulis di internal tim eFishery. Kebetulan temanya pairing dengan salah satu eFisherian.

Saya orang yang buruk sekali dalam mengingat nama. Tidak terhitung berapa kali saya disapa orang di tengah jalan, “Gibran! Apa kabaar?”, saya cuma bisa membalas dengan sapaan netral “Eh kamu, apa kabar”, “Bro, kamana wae euy!”. Padahal di kepala saya tidak ingat dia ini siapa, sempat bertemu dimana, apalagi nama dan detail pribadinya. Mungkin memang otak saya ini memiliki kapasitas memori yang terbatas dan setiap harinya selalu ada hal baru yang masuk, jadi secara otomatis dia overwrite ingatan semacam ini. Makanya, saya kadang lupa ulang tahun ibu saya, tahun lahir anak, nama lengkap keponakan, dan hal lain yang lumrahnya diingat. Orang-orang yang saya sekali dua kali bertemu, pasti lupa.

Ini diperparah saat tim eFishery semakin banyak. Sudah berkenalan, sempat ingat nama, tapi sering langsung lupa. Yang jadi masalah, kalau di eFishery, bukan hanya seperti kenalan yang berpapasan kalau tidak sengaja. Tapi peluang untuk bertemu dan sapa menyapa di kantor lebih tinggi. Penggunaan “bro” atau “hai” terus bisa mencurigakan, nanti orang-orang jadi tahu kalau nama mereka memang saya tidak tahu. Untuk menghindari ini, saya membuat metode menghapal dengan mengasosiasikan nama dengan kata benda lain yang mudah diingat, serta 2–3 hal yang jadi pembeda. Misalnya, Faiz, saya punya kode: Om, Kuncen, Rekrut Lapangan. Namanya Faiz, seperti om saya yang memiliki nama yang sama. Kuncen kantor karena tinggal di kantor. Dan pekerjaannya rekrut lapangan. Tiga hal ini cukup jadi pembeda. Sejak punya pola ini, setiap disapa Faiz, karena sering ketemu hampir setiap ke kantor, saya tidak membalas dengan panggilan “bro” lagi.

Salsabila, Siapa?

Nah, saat ada topik pairing dan saya diminta untuk menulis tentang Salsabila, saya bingung juga. Bertemu saja belum pernah (apa udah ya?), bercakap-cakap langsung juga tidak. Lalu, apa yang bisa ditulis? Kalau orang yang sempat berkenalan, mengobrol sedikit, setelahnya saja saya lupa hal sepele seperti nama, gimana saya bisa menulis tentang Salsabila yang harus lebih dari sebuah nama? Karena semakin bingung, saya coba menerapkan metode tadi: simplifikasi Salsabila menjadi 2–3 kata agar mudah dicerna. Dan saya punya tiga kata yang cukup menjadi pembeda: dansa, kucing, Bekasi.

Kok dansa? Soalnya…. Salsa. Iya, memang, kata kuncinya terlalu umum. Nanti jangan-jangan saya tertukar dengan balet, tango, atau empat kali serong ke kiri serong ke kanan. Tapi, kelihatannya ini cukup jadi pembeda: salsa itu dansa yang enerjik. Dan Salsabila, kelihatannya, orang yang juga enerjik. Setidaknya ini yang saya baca dari tulisan-tulisannya. Beberapa observasinya tentang hidup penuh optimisme. Mungkin ini muncul dari spritualismenya yang memang tertanam sehingga refleksi terhadap fenomena cenderung transedental. Atau karena dibesarkan dari keluarga yang hangat, jadi respon alamiahnya tentang hal-hal di eksternal amat positif. Spiritualisme, keluarga, dan juga kepribadiannya, kelihatannya, jadi sumber energi tadi.

Kok kucing? Karena, Salsa nge-fans berat dengan kucing. Saking sukanya dengan kucing, ini menjadi cari dia mengidentifikasi dirinya. “Sebut saja Kakak Kucing”, katanya. Entah kenapa Salsa ini suka dengan kucing. Lucu, mungkin. Tapi, saya sebagai orang yang sok tahu, mencoba melakukan analisa yang saintifik berdasarkan bidang ilmu ternama cocokologi. Berdasarkan riset, membelai kucing itu menstimulus pelepasan hormon oxytocin. Istilah populernya, ini hormon cinta. Hormon ini memang secara fisiologis jadi pemantik persepsi emosional. Apakah kecintaannya ke kucing adalah satu representasi dari rasa cinta yang membuncah yang belum ada kanal distribusi yang tepat? Tidak tahu. Saya kenalan saja belum. Sementara itu, mari kita anggap ini benar.

Kok Bekasi? Karena Salsabila dari sana. Ini hal yang mudah diingat karena saya juga dulu pernah menjadi orang Bekasi. Tapi, yang paling bisa saya ingat, Salsabila ini kelihatannya menjadi warga yang begitu bangga dengan ke-Bekasi-annya. Padahal, saya pribadi bingung apa yang bisa dibanggkan dari Bekasi. Bekasi ini tempat di mana Babelan dan Bantar Gebang ada. Dulu saya sempat bekerja magang di Jakarta Utara, berangkat dari Bekasi. Entah naik KRL, naik motor, naik angkot, naik ojeg, naik busway, semuanya penyiksaan yang tidak manusiawi. Ini yang jadi alasan kenapa saya memutuskan untuk tinggal dan membuat eFishery di Bandung saja. Salsabila, sementara itu, kelihatannya bahagia tinggal di Bekasi. Alasannya? Entah apa. Mungkin karena kepribadiannya tadi bisa melihat sesuatu dengan positif, jadi walaupun kotanya sekelam itu, Salsabila tetap melihatnya secara cemerlang. Atau, di Bekasi ada orang-orang yang bisa menampung rasa kasihnya yang butuh distribusi tadi. Berarti, Bekasi ini menjadi penyatu dua kata pertama tadi. Jadi simpulan logis dari dua premis.

Apapun itu, ini cukup jadi faktor yang kuat untuk mempermudah saya mengidentifikasi Salsabila. Valid atau tidaknya, bukan urusan, karena saya bukan orang data seperti Salsa. Lagipula, ini kan metode identifikasi subjektif saya untuk lebih mudah mengenal dan mengingat. Semoga nanti bisa ada kesempatan untuk lebih banyak mengenal dan punya informasi lebih tepat untuk bisa diingat. Hingga saat itu, Salsabila adalah dansa, kucing, dan Bekasi.

--

--