Habits of Being Happy

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
6 min readJan 23, 2023

--

Di setiap awal tahun, orang-orang biasanya punya resolusi tahunan, umumnya sangat kuantitatif, dan tak jarang tipikal. Seperti membaca 1 buku per bulan, olahraga 3x seminggu, turun berat badan 10 kg, beli Agya, dan lain sebagainya. Apa kamu melakukan ini setiap tahun? Nah, kalau iya, seberapa sering ini bisa tercapai di akhir tahun? Seberapa konsisten itu benar-benar dilakukan sepanjang tahun?

Tentu saja, punya resolusi ini jauh lebih baik dibanding tidak ada sama sekali. Dari hasil studi di Journal of Clinical Psychology, orang yang punya resolusi tahun baru punya 44% kemungkinan lebih tinggi untuk sukses mencapai target tersebut setelah 6 bulan, jika dibandingkan dengan orang tidak menentukan target tahunan. Jadi sebagaimana teori manajemen, memiliki goals akan menentukan progress; dan semakin bisa diukur, semakin baik. Akan tetapi, setidaknya dari pengalaman pribadi, resolusi yang sekonyong-konyong ada, dan cenderung ikut-ikutan, hasilnya malah tidak optimal. Terutama karena proses dan konsistensinya tadi tidak ada. Ini saya sadari kira-kira sekitar 10 tahun lalu. Resolusi ada, lihat yang biasa dari sosial media, tapi di akhir tahun, hampir tidak ada yang tercapai.

Sejak saat itu, pendekatan saya dalam menentukan target tahunan agak berbeda. Target pastinya tetap ada, tapi proses membuat target itu yang berbeda. Tidak langsung lompat ke apa yang ingin dimiliki, bahkan bukan apa habit yang ingin dibentuk di tahun itu; tapi mendalami dulu apa alasannya, apa motivasinya. Framework-nya? Sederhana: tinggal melihat apa yang paling membuat saya bahagia; atau apa yang paling beresiko untuk nanti mungkin jadi alasan saya untuk tidak bahagia. Happiness-based goals approach.

Understanding your true (un)happiness

Saya mencoba mencari-cari apa resolusi hidup saya 10 tahun lalu, saat saya menggunakan framework ini. Tapi, sayangnya, saya tidak berhasil menemukannya. Yang saya temukan hanya hasil akhir dari resolusi itu, yang saya tulis di penghujung 2013: The End of an Era. Setidaknya di tulisan ini, terlihat sejumput output dari resolusi itu; memulai eFishery secara formal, lebih matang secara intelektual, dan menikah. Kelihatannya resolusinya cukup tipikal: a) memulai bisnis, b) menikah, c) baca 50 buku setahun. Tapi, proses berpikirnya yang masih saya ingat, untuk mendapatkan resolusi tersebut.

Di tulisan yang sama, saya menilik apa yang terjadi di tahun sebelumnya lagi. Saya ingat sekali bagaimana 2012, sebagai mahasiswa baru lulus, saya punya resolusi yang luar biasa dahsyat yang ingin punya semuanya, ingin mencapai segalanya, karena terpengaruh motivator-motivator serta buku inspirasi bisnis. Hasilnya? Naas. Saya gagal dalam bisnis, meninggalkan banyak hutang, kehilangan kepercayaan diri, hingga gamang tentang tujuan hidup. Makanya, di akhir 2012, saya mengganti pendekatan saya. Alih-alih mengambil makna “sukses” dari apa yang saya dengar dan baca, saya mencari makna bahagia sebenar-benarnya, dari pengalaman yang saya alami di tahun itu. Saya merefleksi apa yang telah (dan akan) menjadi alasan saya untuk bahagia, serta tidak bahagia, di tahun 2012. Tidak usah banyak-banyak; saya cuma memilih satu kejadian paling tidak bahagia serta paling bahagia, lalu memulai dari sana.

Di tahun tersebut, hal yang paling tidak bahagia adalah saat saya gagal di bisnis dan meninggalkan hutang. Tekanannya luar biasa. Saya tidak mau mengulangi hal yang sama. Saya coba cari apa alasan saya gagal, dan saya temukan hanya dua; a) saya yang inkompeten sebagai pengusaha, b) saya ditinggal founder saya untuk kerja dan kuliah di luar negeri. Inkompetensi saya sebagai pengusaha karena saya kurang belajar; dan membaca buku yang menurut saya isinya salah, yang isinya hanya motivasi sedekah supaya cepat kaya, tentang berdoa, tentang kekuatan mimpi. Tentu saja, beberapa hal tentang ini saya imani, tapi saya sadari bahwa mengelola bisnis itu urusan kompetensi, dan kompetensi itu harus dipelajari, harus diasah; bukan modal bismillah. Saya tahu kalau saya butuh belajar soal validasi ide bisnis, pola manajemen, tentang product development, tentang startup. Saya punya resolusi baca buku dengan jumlah yang banyak. Tapi, jumlah itu bukan asal-asalan, motivasi saya sangat kuat untuk bisa lebih kompeten, dan tidak lagi gagal. Di tahun yang sama, saya sudah punya ide tentang eFishery, tapi saya harus mencari founder yang tepat dan membangun bisnisnya secara formal dan professional.

Saat menyelami kejadian kegagalan tadi, saya juga menemukan alasan kebahagiaan. Karena, saat saya suram karena nasib hidup begitu bengis serta kegagalan yang meringis, ada seseorang yang selalu ada menenangkan saya hingga tangis saya habis. Di titik itu saya sadar, ini jadi alasan saya bahagia. Resolusi saya di 2013 itu memang “menikah”, tapi di belakangnya ada alasan yang sangat dalam. Jadi, meskipun di akhir 2012 saya tidak punya uang bahkan punya banyak hutang, saya tahu saya akan jungkir balik mengejar ini, karena ini bukan hanya resolusi basa-basi.

Resolusi 2013

It’s where you start, not where you end

Inilah alasannya 2013 jadi tahun terbaik saya saat itu; dan banyak tahun-tahun setelahnya. Iya, resolusi saya sama saja: belajar, baca buku, memulai bisnis, dan menikah, tapi cara saya mencarinya berbeda. Saya baca buku bukan karena melihat resolusi keren orang di Tiktok, tapi karena dari kejadian gagal sebelumnya, saya butuh lebih kompeten, jadi buku yang saya baca sesuai dengan peningkatan kompetensi saya. Saya memulai bisnis formal bukan karena saya terinspirasi motivator handal, tapi dari pengalaman pribadi, saya pernah gagal dan kali ini harus lebih professional. Menikah pun bukan karena terpengaruh ditanya handai taulan saat lebaran, tapi saya sudah alami momen yang menjadi alasan kebahagiaan dari calon pasangan. Hasil akhirnya bisa jadi sama saja, tapi proses dan progress berbeda, karena titik memulainya.

Framework Wehaweha

Saat memulai membangun habit yang positif atau resolusi tahunan yang bagus, jangan langsung berpikir ke habitnya dan resolusinya, apalagi langsung mencari apa yang kira-kira terlihat luar biasa. Tapi, mulai dari melihat ke dalam, dan mencari apa hal yang paling penting bagi kita. Apa yang membuat kita bahagia, apa yang tidak. Karena, bisa jadi hidup kita berubah, resolusi kita tercapai, tapi apalah gunanya kalau itu tidak membuat kualitas hidup kita jadi lebih bahagia, tidak menghindarkan kita dari sumber ketidakbahagiaan kita.

Penting juga untuk kita memastikan supaya alasan bahagia dan tidaknya ini diturunkan sampai level prinsip, yang paling granular, supaya resolusinya juga tepat sasaran. Dan hasil akhirnya perlu kita bayangkan secara lebih lengkap. Misalnya, bisa jadi sumber ketidakbahagiaan kita adalah menghabiskan waktu di jalan, karena rumah di Karawang tapi kerja di SCBD, tiap hari naik KRL. Nah, resolusinya perlu sesuai yang bisa kita capai di akhir tahun itu, supaya progressif, tapi juga hal yang memang menjawab isu utamanya secara granular, supaya solutif. Bisa jadi resolusinya bukan beli mobil CR-V, karena nanti tetap tersangkut di kemacetan sambil dibebani dengan cicilan. Mungkin resolusinya cari rumah kontrakan atau kerja yang bisa tidak lama-lama di perjalanan.

Framework ini saya gunakan di tahun-tahun setelahnya, hingga tahun ini. Tahun lalu, misalnya, saya punya resolusi untuk gym dengan rutin. Tapi, alasannya bukan supaya saya bisa buka baju di luar untuk pamer badan, tapi karena alasan yang lebih personal lagi. Tahun sebelumnya, saya menyaksikan langsung kakek saya meninggal dunia karena kanker; sama seperti ayah saya yang juga pergi karena kanker 7 tahun lalu. Ini jadi sumber ketidakbahagiaan saya, dan kelak jadi sumber ketidakbahagiaan orang-orang di sekitar saya juga. Jadi, saya ingin nanti di usia 70 tahun tetap fit, dan rajin berolahraga jadi habit yang saya targetkan. Ini jadi salah satu resolusi yang berjalan konsisten hingga sekarang. Dan saya yakin, tahun ini, tahun depannya lagi, habit untuk gym akan terus dilakukan, karena alasannya cukup personal, cukup dalam.

Biar bagaimanapun, akhirnya resolusi ini hanya tools supaya kita bisa lebih memandang hidup dengan baik, ke arah yang juga lebih baik. Tercapai atau tidak, itu urusan nanti. Jangan sampai malah tidak tercapainya resolusi, malah jadi alasan kita sengsara dan melihat diri kita secara kontra-produktif. Tapi, setidaknya dari pengalaman pribadi, memilih resolusi tahunan yang tepat dengan framework ini membantu membangun jalan hidup yang lebih kuat. Karena resolusi model ini dimulainya dari alasan bahagia bagi diri kita sendiri. Sebagaimana hidup. Yang pada dasarnya untuk mengejar bahagia yang sebenarnya.

--

--

Responses (7)