Hidup Untuk Bekerja

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
5 min readJan 29, 2023

--

Mungkin, 30–40% perjalanan harian di dalam kota Bandung saya tempuh dengan naik Go-Ride. Beberapa orang kadang salah tangkap mengira ini karena saya rendah hati, sederhana, rupawan, dan rajin menabung. Padahal, saya hanya malas menghabiskan waktu di tengah kemacetan berkendara mobil. Apalagi, karena transportasi publik Bandung yang memang kacau tak terbendung (ehem, Pak Wali, Pak Gub). Ojol motor memang bukan moda yang ideal, tapi ini yang paling cepat. Di perjalanan, saya bisa sembari membuka HP untuk bekerja atau belajar. Jadi, jauh lebih banyak faedahnya dibandingkan berkendara sendiri. Tapi, di luar hal-hal eksplisit itu, alasan yang membuat saya memilih ini dibanding moda lainnya adalah dialog dengan para driver-nya, yang tak jarang membuka pikiran. Obrolan semacam ini selalu bisa mengembalikan saya untuk menginjak tanah kehidupan.

Jumat malam kemarin, misalnya, di perjalanan malam ke rumah, mamang Gojek saya, Kang Erik, bertukar cerita dengan saya tentang pekerjaannya. Dia hampir 5 tahun jadi driver, berangkat dari jam 11 pagi, selesai jam 10 malam. Setiap harinya, dengan pola tarif serta insentif terbaru, dia mendapatkan kurang lebih Rp 200ribu. Dikurangi bensin, makan, dan kopi, dia bisa membawa pulang Rp 130 ribu. Jika libur 1 hari dalam sepekan, pendapatannya hampir setara dengan upah minimum di Kabupaten, kurang lebih Rp 3 jutaan. Sebagai driver yang sudah berpengalaman cukup lama, dia juga bercerita bagaimana dulu, saat tarif serta insentifnya masih tinggi, penghasilan bersihnya bisa hingga Rp500 ribu dalam sehari. Jadi, dalam 1 bulan, pendapatannya mencapai 15 juta. Hampir sama dengan rata-rata manajer perkantoran ibukota. Lumayan juga. Makanya, terlepas dari berbagai kontroversi soal pola bisnis bakar uang, unit ekonomi yang rendah, pekerjaan yang informal, misalokasi modal, dan isu transportasi, setidaknya perusahaan-perusahaan ride-hailing ini sempat berperan sebagai Robin Hood: mengambil dana dari para investor besar kaya raya, dan membagikannya ke rakyat biasa. Bagian ini, menurut saya, sangat inspiratif. PR selanjutnya tinggal bagaimana mengambil model ini, tapi mencari cara baru untuk mempertahankannya secara lebih besar dan berkelanjutan.

Hidup untuk Kerja, Kerja untuk Hidup

Setelah membahas soal pertarifan tadi, saya menanyakan pekerjaan Kang Erik sebelum memutuskan menjadi driver Gojek. “Abi mah icalan a, di Pasar Andir, ngical cau, dugi ka ayeuna da (Saya berdagang di Pasar Andir, berjualan pisang, sampai sekarang kok)”, kata beliau.

Tabuh sabaraha eta teh kang ngicalna? (Berdagangnya jam berapa?)”, tanya saya.

Ti tabuh hiji peuting, dugi ka subuh lah a, tabuh 6 kitu (Dari jam 1 malam, sampai kira-kira subuh, mungkin jam 6)”, jawabnya.

Oh, janten teh ti beurang ka peuting nga-Gojek, teras dini hari ka subuh ngical ya a? Ai ngical tiasa sabaraha a eta sadinten? (Oh, jadi dari siang ke malam nge-Gojek, dan dini hari ke subuh dagang? Itu satu hari bisa dapat berapa?)

Sami lah a, sareng nga-Gojek, 2–3jutaan bersih”, pungkasnya.

Wah, mendengar cerita Kang Erik saya jadi berdecak sambil menggelengkan kepala. Bayangkan saja, dari jam 1 malam hingga 7 pagi berjualan pisang, dan 11 siang hingga jam 10 malam menjadi driver Gojek. Dengan pendapatan 5-6 juta sebulan. Etos kerja yang luar biasa. Belum selesai gerak kepala saya ke kanan dan ke kiri, Kang Erik langsung melanjutkan ceritanya lagi. Dia bercerita tentang latar belakang keluarganya, bagaimana usahanya berdagang pisang terinspirasi dari orang tuanya dulu yang juga berjualan pisang di Pasar Ciroyom. Sedari usia dini, Kang Erik melihat sendiri bagaimana orang tuanya bekerja sejak dini hari sampai subuh, dan pagi hingga sore, berpindah dari satu pasar ke pasar yang lain; memanggul hampir satu kuintal pisang setiap harinya di punggung. Jadi, meskipun Kang Erik bekerja dengan keras begitu, dia masih merasa lebih baik dibanding orang tuanya. Karena setidaknya dia berdagang pisang dengan mobil bak, tidak dipanggul sambil berkeliling. Jadi, yah, sudah ada mobilitas vertikal di lintas generasi.

Mendengar cerita tadi, saya semakin terkagum lagi. Sebegitu kagumnya, saya langsung sampaikan ke beliau bahwa dia luar biasa, punya daya juang yang tinggi. Karena, tidak mudah menghabiskan waktu 16 jam sehari untuk bekerja. Itu porsi yang sangat besar di waktu hidupnya yang, bisa jadi, saya pribadi pun belum tentu bisa. Yang saya lupa berpikir sebelum menyampaikan ini adalah, bahwa Kang Erik belum tentu melihat ini sepenuhnya sebagai pujian. Dan ternyata benar. “Enya da kudu a, kumaha deui”, jawabnya, sambil tertawa kecil. Benar juga, kalau bisa memilih, mungkin bekerja 16 jam sehari untuk 5–6 juta sebulan bukan jadi pilihan pertamanya. Ini dia lakukan semata-mata karena dia tidak banyak punya pilihan.

Tentunya, Kang Erik tidak sendirian. Ada puluhan atau bahkan ratusan juta manusia di Indonesia yang mengalami hal yang sama. Menghabiskan porsi terbesar hidupnya untuk mendapatkan pendapatan yang secukupnya. Mayoritas pekerja di kota besar menghabiskan 3–4 jam di jalan sehari serta 8–9 jam di kantor untuk mendapatkan penghasilan yang kurang lebih sama dengan Kang Erik. Lebih dari itu, saya ingat pernah bertemu dengan buruh pertanian, dengan pekerjaan yang sangat menguras fisik, belasan jam setiap hari, hanya untuk mendapatkan Rp150 ribu per minggu, Rp600 ribu per bulan. Ada juga pekerja kesehatan yang dibayar 400 ribu, atau guru honorer yang gajinya 300 ribu. Dan banyak cerita-cerita lainnya yang berbeda rupa, tapi sama isinya: menghabiskan lebih dari sepertiga waktunya, hampir separuh hidup, untuk bekerja. Tapi, mau bagaimana, mereka tidak punya pilihan yang lebih baik. Karena, mau tidak mau, mereka harus bekerja untuk bisa hidup.

Kesempatan dan Kesenjangan

Saat berpikir dan berkomentar demikian, awalnya saya merasa ini seperti onani moralitas saja. Karena, siapa saya, kan? CEO perusahaan yang berkecukupan dan tidak tahu rasanya kerja keras. Privilege, katanya. Sekilas, mungkin, ini memang ada benarnya. Tapi, setelah saya pikir-pikir lagi, meskipun kondisi hidup kini berbeda, tapi pemikiran dan komentar saya itu bukan hanya dirasa di permukaan saja. Karena, di hati yang terdalam, saya selalu merasa ada di dunia yang sama. Ibu saya dulu pedagang beras di Pasar Pulogadung, sama seperti orang tua Kang Erik. Sejak sekolah hingga magang, saya naik KRL dari Bekasi dan Metro Mini, sama seperti pekerja lain di kota besar. Saya dulu memulai dari satu kolam ikan lele yang saya urus sendiri, sebagaimana para petani. Jadi, kerasnya hidup yang dirasakan, kurang lebih bisa saya bayangkan, karena saya juga dulu pernah juga merasakan. Itulah kenapa, cerita ringan tadi semacam menyisakan beban berat di pikiran saya, entah kenapa. Mungkin karena semesta menyuratkan hal yang lebih baik bagi saya, sehingga masa-masa saya setelahnya bisa lebih beruntung dengan berbagai macam kesempatan. Dan ini belum berlaku bagi yang lainnya, karena nasibnya berbeda.

Tapi, apa iya, semua ini ujung-ujungnya hanya diputuskan oleh takdir, yang menjadikan peluangnya muncul sebegitu kerdil? Atau, sebenarnya, ada cara lain yang kelak bisa menyediakan kesempatan bagi semua orang dengan lebih adil? Saya tidak bisa menjawabnya. Setidaknya, tidak di perjalanan ojek yang hanya 40 menit tadi.

Sepanjang perjalanan, Kang Erik sengaja mengendarai motornya secara perlahan, supaya bisa berbicara dengan lebih nyaman. Tapi, di akhir-akhir perjalanan, saya lebih banyak terdiam. Di hari lain, mungkin cerita Kang Erik ini akan saya jadikan bahan untuk bersyukur tentang banyak keberkahan. Tapi, tidak di hari ini. Biar ini jadi salah satu pemantik pikiran saya tentang kesempatan dan kesenjangan. Ini jadi satu dari sekian banyak cerita yang saya kumulasi, sampai nanti punya cukup energi untuk bisa benar-benar melakukan suatu perubahan.

--

--