Jangan Jadi Ambisius

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
3 min readApr 12, 2022

--

Beberapa bulan lalu, saya bersua dengan teman lama. Kita berdiskusi tentang banyak hal sambil berjalan di Malioboro. Dari membahas masa lalu, kabar rekan-rekan yang lain, soal keluarga, tentang kewajiban suami, hingga kekaguman dia dengan proses intelektual di pesantren. Obrolan ini tipikal bapak-bapak yang berkumpul di Pos Siskamling untuk main gapleh: kadang ngalor, kadang ngidul. Tidak berarah, tapi sesekali tetap ada hikmah. Banyak sekali kontroversi yang kita tukar, dari soal Manchester City hingga pemerintahan Jokowi. Tapi, pernyataan paling kontroversial yang dia sampaikan justru tentang saya.

Loe itu sebenernya nggak ambisius”, katanya. Saya mengernyitkan dahi mendengarnya. Bisa-bisanya dia bilang begitu. Apa dia tidak tahu kalau, saking ambisiusnya saya, tim di kantor mengabadikan nama salah satu ruang rapat menjadi Gibranus ambisius?

Melihat wajah saya yang keheranan karena merasa identitas diri dipertentangkan, dia segera memberikan penjelasan. “Loe itu punya ambisi, tapi bukan ambisius. Berambisi kan belum tentu ambisius”, katanya. Saya tambah bingung.

Loe itu retrospektif”, lanjutnya menjelaskan, “Buat loe, yang penting bukan mencapai ambisinya, tapi dapet pelajaran di prosesnya”, ujar dia. Saya mulai tidak terlalu bingung. Dia lalu menambahkan, “Ambisi cuma alat loe buat bisa mendapatkan hikmah lebih besar di perjalanan buat mencapainya”. Saya kembali mengernyitkan dahi, tapi kali ini bukan karena bingung. Melainkan menyelami perkataan dia tadi.

Hidup Itu Mendaki Gunung Berkabut

Terlepas dari memang itu membuat saya terdengar lebih keren dari kenyataannya, yang disampaikan teman saya, setelah dipikir-pikir, cukup selaras dengan cara saya menjalani hidup. Ada satu mental model yang selalu saya terapkan, baik itu di kehidupan, maupun di perusahaan. Mental model ini menganalogikan hidup (dan bisnis) itu seperti mendaki gunung perawan yang gelap dan berkabut; sebagaimana jalan hidup kita yang belum ada yang pernah menjalaninya selain diri kita. Masing-masing dari kita diberikan tas ransel, dengan isi yang berbeda-beda, bergantung di mana dan dari mana nasib menentukan kita dilahirkan. Tapi, kita dibekali senter dengan jarak pandang yang sama.

Di kondisi seperti ini, cara yang tepat untuk mendaki gunung gulita itu bukan dengan mencoba menggambar peta menuju puncaknya, karena ya gelap, terlalu banyak ketidakpastian. Mode yang paling efektif adalah dengan maju di jarak pandang yang bisa kita lihat dengan senter yang kita pegang, di 5–10 langkah ke depan. Ketika ada persimpangan, kita tinggal pilih salah satu jalan. Kalau ternyata tersesat, balik lagi. Kalau jatuh ke jurang, bangkit lagi. Di tengah perjalanan menemukan makanan atau senjata, ambil untuk langkah selanjutnya. Dan tetap melakukan itu, hingga kita mencapai satu puncak yang kita tuju. Fokus kita hanya melangkah saja, sedikit semi sedikit, dan mengumpulkan bekal yang kita temukan di prosesnya.

Menerapkan mental model semacam ini di hidup dan di bisnis, mendorong saya untuk lebih fokus maju berjalan, dibandingkan berlama-lama membuat perencanaan; untuk lebih cepat mengambil keputusan, dibandingkan terpaku dalam proses berpikir yang terlalu panjang. Dalam konteks terkait ambisi yang sebelumnya dibahas, mental model ini menjadikan puncak sebagai alat kita untuk mendaki lebih tinggi. Dan karena puncaknya kelam serta jauh, kita akan tergerak untuk selalu bergerak. Membangun tenda untuk istirahat, menemukan buah di tengah jalan, sekalipun menyenangkan, bukan jadi tujuan utama yang membuat kita terbuai, karena puncak kita belum tercapai.

Harga dari Ambisi

Di satu sisi, ambisi ini yang memotivasi kita untuk bisa bergerak dan menciptakan dampak. Sebagaimana puncak gunung yang menjadi alasan kita untuk terus mendaki. Akan tetapi, di sisi lain, ambisi juga ada harganya: ini adalah kontrak yang kita buat dengan diri kita sendiri, untuk tidak bisa bahagia dan puas hingga itu bisa terpenuhi.

Yang jadi masalah adalah, kebanyakan orang menempatkan eksternalitas serta materi yang kecil sebagai ambisi-ambisinya. Berkeluarga di usia tertentu, memiliki rumah besar, status sosial yang terpandang, dan lain sebagainya. Ini bisa saja efektif sebagai katalis kita untuk bekerja lebih taktis. Tapi, di sisi lain, ketika tidak kita dapatkan, ada ketidakbahagiaan yang secara langsung muncul sebagai konsekuensi dari ambisi tadi yang nyatanya tidak terwujud.

Itulah kenapa, mentalitas yang tadi disampaikan teman saya jadi titik tengah yang paling seimbang. Karena, dengan menjadikan ambisi bukan sebagai tujuan, tapi sebagai alat untuk kita berkembang, kita melepaskan diri kita dari resiko untuk bisa tidak bahagia saat itu tidak terjelma. Di saat yang bersamaan, kita tetap punya tujuan besar untuk melangkah lebih tegar dan secara konsisten terus menerus belajar.

--

--

Responses (1)