Jendela dan Kemapanan

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
6 min readMar 26, 2024

--

Saya menghabiskan masa kecil saya hingga lulus SD berpindah dari kontrakan ke kontrakan. Yang paling saya ingat, dan kelihatannya yang paling lama, itu di kontrakan yang hanya berjarak 50 meter dari Pasar Palad, dan tidak jauh dengan Terminal Pulogadung. Areanya agak kumuh, dekat dengan sungai kotor, pedagang pisang, dan bengkel motor. Aromanya kombinasi bau kali, karbit, dan oli.

Yang penuh kenangan dari kontrakan ini adalah desain serta materialnya. Ukurannya hanya sekitar 20–25 meter persegi, dapur menyatu dengan kamar mandi, masuk pintu langsung kamar tidur. Pintunya dari papan dan atapnya seng. Kalau hujan besar, kadar bisingnya layaknya di tengah konser akbar. Dan yang paling mengesankan di antara semuanya adalah jendela. Eksistensi dari jendela ini ibarat orang yang tersesat di tengah hutan, tidak jelas arah tujuan. Lebarnya 30 cm, agak memanjang tinggi, buram, tapi tidak bisa dibuka. Saya sebal sekali dengan fakta terakhir ini, seringkali berharap ada cara supaya jendela ini bisa dibuka. Alasannya, supaya udara bisa masuk barang satu dua hembusan. Bukan, ini bukan karena alasan pemandangan. Karena, depannya adalah sekumpulan jemuran. Indah nian, bukan?

Bentuk lokasi kontrakan yang sekarang. Dulu lebih suram.

Tentu saja, karena seumur hidup saya tinggal di sana, bagi saya ini standar hidup saya, jadi saya merasa nyaman-nyaman saja. Sampai, di kelas 5 SD, saya punya teman di sekolah. Sepulang sekolah, dia sering mengajak saya main ke rumahnya. Perlu dicatat bahwa saat itu, saya tidak tahu konsep harta, miskin, dan kaya. Yang saya tahu, dia punya Dreamcast, Playstation, dan Sega, di kamarnya yang lega. Saya rasa, kamar dia sendiri, hampir sebesar satu rumah kontrakan kami. Semua game console tadi memang menyenangkan, tapi yang paling saya suka dari main di tempat dia bukan itu, melainkan jendela kamarnya. Jendelanya, bisa dibuka. Luar biasa. Bisa dibuka! Saya tidak bisa membayangkan di dunia ini ada jendela yang bisa dibuka, karena jendela rumah saya hanya diam tidak berguna. Yang lebih luar biasa lagi, saat dibuka, pemandangannya taman rimbun pekarangan depan, bukan jemuran. Ah, ini baru, indah nian.

Jendela Indikator Kekayaan

Setelah kejadian itu, di masa-masa menjelang lulus SD, saya baru memahami konsep harta dan mulai berteori. Kalau saya ke rumah orang, untuk tahu apakah mereka kaya atau tidak, cukup melihat dua indikator: a) apa merk serta ukuran sabun dan sampo yang dipakai, b) apa pemandangan jendela kamar utama. Untuk sabun dan sampo, kalau di kamar mandinya ukuran jumbo, merk yang tidak ada di toko, dan bentuknya cair, saat itu saya tahu kalau orang tuanya tajir. Karena, rumah saya dan teman saya lainnya yang satu tetangga sabunnya hanya GIV batangan dengan shampo sachetan.

Tapi, sabun ini masih kadang masih ada margin of error, indikator yang agak relatif. Di beberapa observasi, ada juga yang saya tahu keluarganya kaya, tapi sabunnya tetap pakai biasa-biasa saja. Juga sebaliknya. Jadi, seringnya benar, tapi kadang masih salah. Sementara, faktor yang satunya, pemandangan jendela, ini mutlak adanya. Kalau pemandangan jendelanya indah, dijamin hartanya berlimpah.

Tidak percaya? Coba saja lihat iklan dari perumahan elit. Pasti diiringi dengan ‘City View’, ‘Riverside’, ‘Ocean View’. Pemandangan ini yang membuat properti tadi harganya mahal. Ini contohnya, salah satu penthouse termahal di dunia, di gedung residensial tertinggi ini, pemandangannya kota New York tepat di hadapan Central Park, cantik tiada duanya. Harganya? 2–3 triliun saja. Kan, sesuai teori saya, pemandangan jendelanya indah, dijamin hartanya berlimpah.

Sayangnya, sampai lulus SMA, lingkaran pergaulan saya masih terbatas di sekitaran Pulogadung, Kayu Putih, dan Bekasi. Jadi, observasi saya terhadap pemandangan jendela masih ada di batas atas yang cukup rendah. Ini semua berubah saat saya berkuliah di Bandung. Di sini, baru saya menguji teori saya dengan mata sendiri. Saya sempat masuk ke rumah di daerah atas Ciumbuleuit yang rasa-rasanya luasnya sebesar lapangan sepakbola. Dan jendelanya, sungguh lebar, seperti sepuluh meja tenis disusun sejajar. Dan pemandangannya, amboi: sisi kanan taman, sisi depan hutan, sisi kiri perkotaan. Ini baru benar-benar: indah nian.

Di titik itu, yang tadinya sekadar teori serta observasi, ini berubah menjadi tekad. Dalam hati, saya sudah berencana; kelak, saya harus bertambah mapan. Dan lihat saja, nanti jendela saya akan penuh dengan keindahan.

Pintu ke Dalam, Bukan Jendela ke Luar

Seiring dengan berjalannya waktu, secara sedikit demi sedikit itu terwujud, saya bertambah mapan. Dan selaras dengan tekad tadi, jendela juga ada sedikit peningkatan, walaupun belum signifikan karena pemandangan rumah saya sekarang hanya parkiran. Tapi, setidaknya, saya mulai memprioritaskan dengan mempercantik pemandangan jendela yang dilihat oleh ibu saya dulu. Dari dulunya rumah kontrakan yang depannya jemuran, sekarang membuka kamar langsung disambut oleh taman.

Pemandangan Jendela Rumah Ibu

Karena jalur kemapanan sekarang agak lebih jelas arahnya, misi menemukan jendela ini pun saya perkuat rencananya. Saya mulai berpikir mau beli rumah dimana untuk mendapatkan pemandangan jendela yang seperti apa. Dari mulai pemandangan kota dari Dago Atas, hingga gedung tinggi sekitaran SCBD. Dulu, hal-hal ini masih tidak terjangkau pikiran, sekarang terasa sangat memungkinkan. Dalam pencarian ini, biasanya saya lakukan sembari menginap di hotel dan membandingkan pemandangannya, baik dalam maupun luar negeri.

Hingga satu waktu, saya menginap di salah satu hotel di Jakarta. Waktu menginap, saya sebelumnya dari kunjungan bisnis selama beberapa hari, jadi lama tidak pulang. Dan mungkin karena alasan ini, hari itu saya merasa kesepian. Saya rindu anak dan istri. Hotel yang saya singgahi luas, nyaman, di pemandangan ibukota yang mengagumkan, tapi hari itu saya merasa sepi. Di perasaan melankolis itu, saya memandang jendela dan melihat ke luar, sebagian ada gedung pencakar, tapi sebagian lainnya permukiman di gang-gang kecil. Dari kejauhan, terlihat satu rumah atapnya asbes dengan jendela berpemandangan jalan sempit. Rumah itu mengingatkan saya ke kontrakan masa kecil yang saya ceritakan.

Melihat pemandangan dari atas jendela hotel mewah, saya jadi mencoba mengulang memori, membandingkan dengan jendela buram kontrakan dulu. Awalnya saya berpikir saya akan merasa bangga dengan pemandangan jendela hotel, dan muram kalau mengingat jendela kontrakan; dan itu bisa membuat saya bangga dengan apa yang sekarang saya capai. Nyatanya, tidak, justru malah sebaliknya. Di kamar hotel, saya itu merasa kesepian. Di jendela yang saya lihat adalah pantulan ruang yang besar, tapi hampa. Dan ketika mengingat jendela kontrakan, bukannya suram, saya malah merasa hangat. Bukan hangat karena di luarnya pemandangan jemuran, tapi hangat karena di dalamnya saya, ayah, dan ibu selalu berpelukan lepas, setiap malam di ruang yang serba terbatas. Dan saat mengingat itu, seketika saya langsung bersedih. Saya tahu, sebagaimanapun pemandangan jendela indah rumah saya nanti, saya akan haru saat memasuki pintu, karena kali ini ayah saya pasti tidak ada di dalamnya. Saya sedih karena sisa hangatnya hanya ada di kepala.

Paradoks rasa tadi secara tiba-tiba meruntuhkan pandangan saya tentang kemapanan dan pemandangan jendela. Saya baru sadar bahwa selama ini saya melihatnya ke arah yang salah. Apa untungnya bagus pandangan keluar, kalau dalamnya dingin dan kosong? Saya terlalu banyak memfokuskan energi mencari apa yang menarik di luar, tapi lupa mensyukuri yang terbaik yang sudah ada di dalam.

Akhirnya, ini yang menjadi tekad baru. Daripada saya mencari jendela yang pemandangan luarnya mengagumkan, seharusnya saya membangun isi rumah yang di dalamnya penuh dengan kebahagiaan. Karena, selama isinya bahagia, walaupun jendelanya buram, tidak bisa dibuka, luarnya bergantung jemuran, kita akan tetap mengingatnya dengan tersenyum mensyukuri manisnya kenangan. Dan bergumam dalam hati, “Ah, ini sebenar-benarnya, indah nian”.

--

--