Living for Tomorrow
“What keeps you awake, lately?”
Ini salah satu pertanyaan yang kelihatannya cukup sering ditanyakan oleh investor saya. Walaupun terdengar filosofis, saya tahu tujuan menanyakan ini cuma sekadar ingin dengar apa prioritas perusahaan saat ini, jadi biasanya saya jawabnya juga demikian. “People building”, “area expansion”, “AR collection”, atau apapun ya kira-kira memang jadi masalah utama ketika itu. Di konteks tertentu, terutama kalau yang menanyakannya dari orang baru, saya biasanya menjawab dengan hal-hal yang lebih dramatis tentang alasan saya hidup, yang seringkali diulang-ulang sampai saya sendiri bosan: membasmi kelaparan.
Tapi, apa iya, itu yang menjadi alasan saya terbangun setiap pagi? Rasa-rasanya, saya tidak bangun tidur pagi ini dengan bersemangat ingin memerangi isu kelaparan dan malnutrisi global. Kemarin lusa, saat membuka mata, bukan masalah eFishery juga yang pertama kali saya pikirkan. Tidak juga di Senin lalu. Tidak juga di sebulan sebelumnya.
Alih-alih hal yang besar, yang ada justru alasan-alasan kecil yang mendorong saya bangun setiap pagi. Hari Sabtu lalu, saya bersemangat karena tahu siangnya akan menonton bioskop berdua bersama istri. Selasa sebelumnya, alasannya adalah karena hari puasa pertama. Rabu lalunya lagi, karena ada latihan tenis paginya dan main basket di malamnya. Dan kalau saya tulis satu persatu alasan di 365 hari dalam setahun, alasan yang sejenis ini yang jadi mayoritas motivasi saya terbangun di setiap hari.
Lah, kok culun amat ya? Itu alasan yang, jika ditimbang-timbang lagi, nampaknya terasa kurang ada arti. Apa ini tandanya saya hidup di arah yang tidak ada visi?
The Meaningless of Today(s)
Pemikiran semacam ini sering terbesit di kepala saya, terutama ketika jiwa nihilisme saya sedang muncul saat mencoba berpikir soal hidup. Dalam perspektif yang sangat sangat luas, hidup ini seperti tidak ada maknanya. Apa yang kita jalani sekarang, di tempat kita hidup ini, hanya sebulir debu di alam semesta yang raksasa, dan umur semesta yang teramat panjang. Jadi benar-benar tidak signifikan. Tidak punya arti.
Persepsi yang sama juga muncul kalau saya menggunakan perspektif diskrit dalam melihat hari ini. Coba saja, 24 jam yang kita habiskan setiap harinya, 8 jam sudah habis untuk tidur. 8–12 jam dipakai untuk bekerja yang mungkin isinya hanya 2–4 kali meeting, beberapa dokumen yang dibuat, beberapa task yang selesai. Sudah, tidak ada hal yang signifikan. Sisanya, habis di perjalanan, bercengkerama dengan keluarga, dan aktivitas lain; yang sama juga tidak ada arahnya. Jadi, di satu hari ini, kita tidak menghasilkan banyak hal. Tidak ada arti.
Dan jika hidup adalah sekumpulan dari banyaknya hari-hari ini, maka hidup kita sama dengan tidak ada maknanya, bukan? A cumulation of meaningless days.
Meaningful Tomorrow(s)
Ya, bisa jadi, tapi hanya jika kita melihat hari ini sebagai kesatuan yang diskrit; seolah bangun setiap pagi hari kita baru pertama terlahir, dan malam terlelapnya kita mati. Hari ini akan tidak ada artinya jika tidak ada yang kita bawa untuk besok, dan tidak ada yang kita bawa dari kemarin. Nyatanya kan, tidak. Hidup ini berkesinambungan, kontinu, tidak diskrit. Dan kontinuitas ini, kesatuan hari ini terhadap esok hari, yang membuat hidup ini ada maknanya. Karena, hal kecil yang kita lakukan hari ini, karena berlanjut, bisa berdampak besar di esok hari.
Salah satu contoh yang paling mudahnya, di pengalaman saya pribadi. Tepat 14 tahun lalu, yang jadi alasan saya semangat menjalani hari itu mungkin sekadar rapat himpunan. Tapi, di malamnya, ada pesan di Yahoo Messenger yang masuk dari salah seorang adik kelas. Sepekan setelah itu, karena pesan tersebut yang berlanjut, saya makan siang bersama dia di salah satu rumah makan di Bandung. Beberapa hari setelahnya, saya makan malam di rumahnya. Dan hari ini, adik kelas itu tertidur di sebelah saya di tahun pernikahan kami yang kesepuluh; dan jadi salah satu sumber kebahagiaan terbesar bagi saya sendiri. Jika dilihat secara diskrit, membalas pesan, makan siang, dan makan malam tadi nyaris tidak ada manfaatnya. Tapi, karena hidup itu mengalir berkelanjutan, muaranya berujung ke samudera yang luas akan makna.
Jadi, apapun dimensi hidup kita yang menurut kita punya arti di hari ini, baik itu pekerjaan, keluarga, jati diri, prestasi; itu adalah warisan dari apa yang kita lakukan di hari-hari kemarin. Dan di konsep yang sama, seberapapun terlihat kecil apa yang kita lakukan hari ini, kita percaya bahwa ini bisa memberikan hasil besar di esok kelak. Kepercayaan bahwa esok akan ada, dan akan membayar jerih payah kita di hari ini dan kemarin, justru memberikan makna kita terhadap apa yang kita kerjakan sekarang.
Dengan memiliki mentalitas granular semacam ini di level individual, kita zooming out lebih besar di skala alam semesta juga akan memiliki semangat yang sama. Apa yang kita lakukan sekarang secara individual, adalah bagian dari kontribusi kolektif peradaban. Dan apa yang kita lakukan secara peradaban, akan diwariskan untuk kemajuan semesta di masa depan; sebagaimana kita sekarang melanjutkan warisan pencapaian leluhur kita di masa lalu. Karena ada gambaran tentang mimpi esok hari, hari ini jadi terasa punya makna.
So, what keeps you awake? Well, whatever that can keep me awake today!
Saat percaya kalau esok hari akan ada artinya dan saat kita tahu apa yang mau kita kejar di masa depan; tugas kita hari ini hanyalah mencari motivasi untuk bisa terbangun dan menjalani hari. Seberapapun kecil itu. Karena, ketika hari itu berjalan, semesta akan memberikan guratan jalan nasib berupa kesempatan, kejadian, pertemuan, perpisahan, serta pembelajaran; yang membuat kita menemukan makna. Dan makna-makna ini yang membuat kita berusaha membuat hari itu bernilai. To make each day count.