Losing Someone
Kemarin saya baru saja kehilangan orang yang penting di hidup. Kakek saya, di usia yang ke-76, baru saja berpulang. Di satu sisi, tentu saja saya dan sekeluarga berduka. Di sisi lain, saya pribadi tetap bersyukur karena, berbeda dengan saat ayah saya dulu meninggal dunia, kali ini saya masih bisa cukup sadar untuk memprioritaskan hadir di saat-saat penghabisannya. Jadi, setidaknya dukanya tidak bercampur sesal yang mendera karena kehilangan kesempatan terakhir untuk bersua.
Saya dan kakek tidak terlalu dekat, tapi beberapa pekan lalu saya bisa mendapatkan waktu untuk mengobrol berdua dengan hangat. Kakek menyampaikan rasa bangganya dengan saya dan segala macam pencapaian material yang dia bisa lihat. Dia mengingat kembali bagaimana dulu dia, yang tidak lulus SD, bertatih-tatih bekerja agar anak-anaknya bisa masuk pesantren. Itu kebanggaan terbesarnya di hidup. Melihat anak dan cucunya lebih sejahtera karena perjuangannya. Untungnya, saya juga sempat menyampaikan bahwa apapun pencapaian saya yang bisa dilihat ini, secara langsung maupun tidak, hadir dari kakek. Bagaimana tidak, kalau saja kakek tidak merantau ke Jakarta, berjualan roti dengan sepeda, membuka warung kecil, dan mementingkan pendidikan anak-anaknya, mungkin nasib saya akan jauh berbeda.
Semangat untuk mendorong anaknya supaya sekolah ini juga yang mungkin jadi daya dorong Ibunda saya untuk juga menyekolahkan saya dan adik-adik hingga pendidikan tinggi. Jalan hidup saya setelahnya bisa memiliki arah yang lebih baik karena itu. Jika saja kakek tidak berjibaku sendiri membangun penghidupan dengan keras, dari tercebur selokan dan mengelap rotinya satu persatu agar bisa dijual lagi, hingga membangun warung di Pulogadung dari nol, mungkin saya tidak akan bisa membangun eFishery yang sekarang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi 700an orang dan membantu 17ribuan pembudidaya. Kalau ini dihitung amal, pahalanya akan mengalir langsung ke beliau. Dan jika entrepreneurial mentality itu genetis, maka karakter yang ada di saya kemungkinan besar diwariskan dari kakek. Mendengar cerita ini membuat kakek saat itu menangis terharu. Semoga saja, air mata itu tanda damai dan bahagia bahwa hidupnya sudah dipenuhi dengan makna.
Unnatural State of Losing
Ini ketiga kalinya saya menyaksikan langsung nafas terakhir anggota keluarga inti dengan mata kepala sendiri. Meskipun perasaannya tidak sehancur saat ayahanda yang meninggal, di setiap momen tersebut saya merasakan sedih yang menjalar ke seluruh tubuh. Seakan ada bagian dari diri kita yang dicabut paksa. Jika saja secara emosional ekspresif, mungkin saya sudah menangis tersedu-sedu. Perasaan ini kerap muncul ketika kita kehilangan orang terdekat kita. Mengalami hal ini, jadi timbul pertanyaan, kenapa kita sedih saat kehilangan seseorang?
Mungkin kita mengira ini mudah dijawab, “ya wajar lah, kan alamiah”. Tapi, justru, jika dipikir-pikir lebih dalam, saya tidak melihat ini sebagai sesuatu yang alamiah. Kenapa? Secara insting mendasar, kehilangan orang lain ini tidak sejalan dengan tujuan kesintasan (survival) kita sebagai individu maupun spesies. Jika alam menciptakan naluri kita untuk bertahan hidup, ketiadaan sosok di luar kita yang tidak secara langsung berkontribusi dalam kesintasan kita di level individual maupun spesies harusnya tidak memunculkan rasa sedih sebagai respon alami. Apalagi jika, secara pragmatis, ada atau tidak adanya orang lain itu tidak memiliki dependensi serta pengaruh banyak ke aktivitas kita sebagai organisme hidup. Ini berbeda dengan ikatan antara induk dengan anak, yang memang memiliki fungsi alamiah untuk transfer genetis individual dan survivalitas spesies, sekaligus memiliki dependensi praktikal.
Jadi, menurut saya, rasa sedih ini justru tidak alamiah, tidak instingtif, tapi tumbuh karena wujud dari relasi interpersonal yang terbentuk. Relasi interpersonal ini terakumulasi dalam sekumpulan kenangan yang terekam di sensor serta ruang penyimpanan di otak kita. Semakin banyak, semakin dekat, dan semakin natural hubungannya, maka semakin dalam juga ini terpatri. Ini kemudian menjadi bagian dari diri, entah dalam bentuk kenangan di memori ataupun dalam rencana dan ekspektasi. Saat ini ditarik paksa, ada bagian dari diri kita yang hilang dan berlubang. Kita sedih bukan karena secara fisik jasadnya terpisah. Toh sebelumnya di keseharian kita tidak selalu berdekatan secara fisik, tapi tidak pernah merasa kehilangan. Kita sedih karena secara kenangan dan harapan, kita tahu bahwa ini telah selesai dan tidak bisa dibuat kembali. Kesedihan kita ada karena kehilangan ide dari orang yang pergi.
Keeping the Memories Alive
Jika kesedihan ini ada di level ide, berarti kebahagiaan juga bisa muncul di level yang sama, bukan? Ternyata, memang iya. Di tengah malam tadi saya mencoba memejamkan mata, lalu membayangkan obrolan dengan kakek yang saya ceritakan di awal. Saya tidak lagi mengingat jasadnya yang tadi sore saya pegang sudah dingin, tapi yang saya rasakan dari percakapan itu hanya hangat. Tubuhnya mungkin sudah mati, tapi ingatan ini tetap hidup. Dan ini bisa tetap membahagiakan. Kebahagiaan ini yang mengisi kembali lubang di diri kita yang hilang tadi, yang awalnya kita kira ikut mati. Di tatanan ide, ternyata kita tidak pernah benar-benar mati.
Ini, lucunya, mengingatkan saya ke sebuah lirik Westlife yang dikutip mantan saya saat SMA waktu kita putus dulu: “cause as long as you remember, part of us will be together”. Dulu sih pas dengar ini rasanya sangat alay dan sinis, tapi kali ini saya bisa memaknainya dengan lebih filosofis. Bahwa hidup di dunia fisis yang diukur oleh satuan waktu ini memang fana. Dan bahwa sesuatu yang tidak bisa kita sentuh, belum tentu tidak nyata. Di tengah kehilangan, kita bisa memutuskan untuk mengingat kenangan yang hangat, untuk menggantikan jasad yang telah dingin. Kita bisa memutar kembali pengalaman yang penuh tawa, untuk menggantikan momen akhir yang diisi tangis. Doa kita masih tetap bisa menembus langit, meskipun tubuh dan harap sudah terkubur di dalam bumi.
Selama memori ini kita rawat dan dijadikan energi, tidak ada yang pernah benar-benar mati.