Main Kamu Kurang Dekat

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
3 min readApr 17, 2021

--

Urusan jalan-jalan, rasa-rasanya saya cukup beruntung. Walaupun duit nggak banyak-banyak amat, tapi saya diberi kesempatan untuk bisa berkunjung ke 25 negara di 4 benua di 10 tahun terakhir. Mayoritas urusan pekerjaan, jadi gratisan. Beberapa karena liburan dengan keluarga. Meskipun kelihatannya sangat seru dan keren, tapi saya tidak merasa banyak hikmah di perjalanan saya yang jauh-jauh itu. Amazed, refreshed, iya, sebagaimana kita melihat hal yang baru atau yang biasanya hanya kita lihat di layar kaca. Tapi tidak fulfilled; tidak enlightened. Justru perjalanan yang hingga sekarang masih saya ingat, adalah yang dekat-dekat.

Di masa mahasiswa saat jiwa bertualang masih membara dan waktu luang masih tersedia, saya suka tiba-tiba impulsif mengunjungi tempat-tempat yang tiba-tiba tersirat di kepala. Saya pernah satu malam ingin ke pasar induk; lalu berangkatlah langsung ke Pasar Caringin. Malam itu saya menginap di pasar, singgah di lapak juragan tomat dan bawang, serta melihat bagaimana mekanisme pasar ada. Teori Adam Smith, Invisible Hand, benar-benar terlihat di wujud nyata. Setiap malam, ratusan hingga ribuan pedagang membuka lapak dengan menyiapkan barang di harga tertentu. Saat menjelang jam 2–3 dini hari, saya menyadari bahwa si juragan lapak menurunkan harga hingga Rp2.000. Saya penasaran dan berkeliling ke ujung pasar yang lain untuk mengecek harga tomat, dan ternyata juga sama, turun Rp2.000. Saya cek ke 10 lapak lainnya juga sama.

Tanpa database, command center, dan jalur komunikasi massal, harga tomat berubah seiring dengan semakin larutnya malam. Di jam 4 dini hari, harga sudah turun lebih jauh, lagi-lagi saya cek ke lapak lain, dinamikanya sama. Saya tanya ke si pelapak, apa mereka janjian untuk ada jadwal penurunan harga, ternyata tidak. Lalu, kenapa diturunkan? Dan kenapa kompak? Karena tomatnya nanti busuk jika tidak terjual, jadi lebih baik dijual di bawah harga modal. Semua pelapak berpikir hal yang sama; their own self-interest. Invisible hand; setiap individu mengejar kepentingan pribadinya yang akhirnya menghasilkan satu efisiensi di pasar. Ini jadi pemikiran dasar untuk saya berbisnis setelahnya. Daripada mencoba mengatur pasar, lebih baik mengobservasi dan memanipulasi self-interest di masing-masing pelakunya.

Selain ke pasar, saya juga sering tiba-tiba ingin jalan ke terminal. Dulu saat setelah meeting di Jakarta, saya sempat sengaja tidak menginap di hotel dan pergi ke Terminal Lebak Bulus di tengah malam, lalu tidur di masjid terdekat. Saya bertukar cerita dengan bapak yang ikut menginap di sana. Dia terlantung selama dua belas bulan di terminal, awalnya karena dia mengunjungi anaknya yang merantau di Jakarta. Saat berhasil ditemui, anak perempuan kebanggannya ini ternyata sekarang jadi pekerja seks di salah satu tempat yang cukup kesohor nama buruknya. Dia sakit hati, memutuskan pulang kembali ke kampung, tapi tidak punya uang. Akhirnya si Bapak ini memutuskan menjadi takmir masjid terminal. Katanya sekalian untuk membayar dosa anaknya, sebagai bentuk usaha terakhirnya sebagai orang tua.

Saya juga pernah ke Terminal Ciroyom, lalu ikut menginap di dekat pasar, di tempat anak-anak jalanan tinggal. Ada satu anak, berumur sekitar 11 tahun, yang ceritanya membuat saya merinding. Dia lari dari rumahnya dengan menumpang truk sapi, setelah menusuk ayah kandungnya. Dia kesal karena menyaksikan si Ayah menyiksa ibunya dan melecehkan kakak perempuannya, satu setengah tahun lalu. Saat itu, umurnya belum juga genap sepuluh. Di lain dunia, mungkin dia akan dianggap pahlawan karena melawan kebatilan; tapi di sini, dia anak jalanan yang tidak punya masa depan. Kesehariannya habis untuk mengamen, yang uangnya dipakai untuk membeli lem Aibon. Saya tanya kenapa dia ngelem, dia bilang, “soalnya nge-fly bang, saya jadi lupa soal hidup”. Hidupnya dihabiskan untuk melupakan kalau dia hidup.

=====

Bisa jadi karena saya lahir dan besar dekat dengan pasar dan terminal, impulse semacam ini sering muncul. Entah kenapa. Mungkin, bagian dari diri saya memaksa saya untuk terus mengingat dari mana saya berasal. Atau, mungkin, yang Di Atas Sana ingin memberikan saya pelajaran; bahwa masalah orang lain banyak yang lebih berat, jadi saya jangan merasa paling terjerat. Yang pasti, ini kenyataan yang tak kasat di pucuk mata kita yang picik; jauh dari nurani kita yang lama berkarat.

Kalau kita jarang tersentuh dengan hal ini, mungkin main kita kurang dekat.

--

--

Responses (1)