Notes on My 20s

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
16 min readDec 31, 2019

--

Karena terlahir di tanggal 31 Desember 1989, saya merasa diri saya beruntung. Kenapa? Karena dulu saya terlahir saat ibu saya kaget mendengar bunyi kembang api dan terompet, jadinya brojol begitu saja. “Dhuar! Eh, ada anak keluar”. Saya beruntung bisa selamat.

Bohong ding. Saya beruntung karena momentumnya bisa beriringan dengan waktu tutup tahun untuk hampir semua hal, dari pekerjaan, sekolah, hingga pemerintahan. Sangat praktis bagi saya untuk melakukan evaluasi diri selama satu tahun serta membuat resolusi tahunan, karena itu beriringan dengan momen evaluasi di sisi hidup lainnya. Jadi, saat saya membuat target yang ingin dilakukan di usia tertentu, saya sekaligus membuat resolusi di tahun itu. Praktis, kan? Yang menarik, dan saya justru baru tersadar, saya terlahir di awal satu dekade. Mengevaluasi dekade (90s, 00s, 10s) dan milestone umur (kepala 2, kepala 3) juga mudah dan simbolik.

Saat sedang melakukan evaluasi tahunan, saya tersadar kenyataan pahit bahwa usia sudah masuk kepala 3. Kepala tiga! Mendengarnya saja saya merasa tua. Ini lah masanya persepsi ‘muda’ yang orang lihat mulai pudar. Bukan hanya karena wajah yang tambah mengkerut dan mundurnya garis rambut, tapi persepsi yang ada di masyarakat terhadap usia kepala 3 juga berbeda. Di usia ini, seberapapun berprestasi, saya tidak bisa masuk Forbes 30 Under 30. Untung udah pernah (shombonk!). Di usia ini, seberapapun ganteng, kalau belum berkeluarga sudah dianggap tidak laku. Untung udah nikah (shombonk!). Dulu kalau memperkenalkan diri sebagai CEO dan ditanya umur, jawaban 20 sekian akan disambut dengan respon “Wah, masih muda ya”, tapi ini tidak akan terjadi saat usia menginjak kepala tiga. Hal-hal seperti itu yang membuat saya deg-degan mendekati usia 30an.

Terlepas dari sombong-sombongnya yang tadi sempat disampaikan (dan masih banyak sombong-sombong lainnya sepanjang tulisan), I can gladly say that I spent my 20s pretty well. Dan saya bersyukur karena itu. Bukan hanya karena apa yang telah saya capai, tapi juga bagaimana proses saya mencapainya. Di usia 20an ini saya lulus ITB sesuai target IPK, menikah, punya anak, membeli rumah, berkunjung ke 25 negara di 4 benua, mendapatkan beberapa penghargaan nasional dan internasional, dan membangun perusahaan hingga sekarang memiliki hampir 200 karyawan. Tapi di usia 20an ini juga saya sempat kelaparan, sering kehabisan uang, pernah punya IP 1,6, sempat tidak punya tempat tinggal, kehilangan ayah tanpa sempat menghabiskan waktu terakhir, dan berkali-kali menghadapi masalah kesulitan dana untuk membayar karyawan hingga perusahaan hampir mati.

Kedua hal kontras ini hadir dalam satu koin yang memiliki dua sisi, yang sisi manapun tetap saja menjadi harta saat disimpan dalam celengan. Ini juga memberikan pelajaran umum yang seringkali dijadikan judul film atau lagu: “no pain, no gain”. Tapi, yang lebih mendasar dari itu, usia 20 tahunan membuat saya belajar sesuatu yang lebih spesifik dari jargon tadi; some pains are unnecessary, some gains are not that important. Kelihatannya, itu hikmah terbesar sepanjang saya menjalani usia kepala dua. I chose to persist the right pain, avoid the wrong ones, and pursue the right, and only few, gains.

Choosing the Right, Few, and Bold Decisions Earlier

Semua hal baik yang saya dapatkan di sepanjang dekade di usia 20an adalah akibat dari pilihan besar yang saya tentukan di tahun pertama pada usia 20. Di tahun 2010, saya bertemu dengan seorang wanita yang membuat saya jatuh cinta. We’ve been in a relationship since then, just few days after we met in person. Sebagaimana adegan di film, saat itu juga saya sempat bilang ke sahabat saya bahwa wanita itu akan saya nikahi di usia 21. Walaupun telat 2 tahun dari target, akhirnya saya berhasil mewujudkan perkataan itu dan membangun keluarga hingga sekarang. Jadi, selama usia 20an, sepanjang satu dekade, saya sudah selesai dengan urusan percintaan yang biasanya menyedot banyak waktu dari kebanyakan orang di usia ini. Saya terlindungi dari penyakit endemik bucin galau yang sangat mematikan. Alih-alih membuang energi, justru keputusan ini menjadi sumber energi untuk setiap keputusan yang saya ambil setelahnya.

Di tahun yang sama, saya memutuskan untuk menjadi pengusaha. Walaupun masih kuliah dan sibuk organisasi, saya memulai bisnis pertama di akhir tahun 2009 di bidang vermicomposting, budidaya cacing untuk menghasilkan kompos. Gagal total di tahun yang sama. Karena terhubung dengan banyak petani saat berusaha jualan pupuk kompos dan input, saya juga memulai bisnis broker sayur ke kafe-kafe; lumayan berhasil untuk mengumpulkan sedikit modal. Di tahun 2010 itu saya ikut satu mata kuliah pilihan karena paket A (asal absen, pasti dapet A): “Akuakultur”. Di kuliah itu saya terinspirasi untuk memulai bisnis perikanan. Dengan modal dari jualan sayur, setelah salah satu kelas, saya membuka kolam budidaya lele pertama. Lalu, saya mulai bisnis kuliner menjual olahan ikan lele karena kesulitan pemasaran. Bisnis ini tumbuh hingga 72 kolam dan 5 cabang di tahun 2012. Dari sana lah saya dapat ide untuk membuat teknologi di perikanan, eFishery, and the rest is history. eFishery sekarang tumbuh jadi penyedia teknologi, yang juga berjualan pakan (input) ke petani, hingga jualan ikan ke kafe-kafe dan bisnis kuliner lainnya, sesuatu yang sudah saya lakukan di bisnis-bisnis sebelumnya yang sempat gagal.

Jika saya tidak memutuskan untuk berkomitmen sejak awal dengan satu wanita tadi, mungkin waktu saya banyak habis untuk mengejar banyak wanita lainnya (karena kualitas wajah tidak memungkinkan saya untuk dikejar banyak wanita). Jika saya tidak memutuskan untuk mengejar satu ambisi dan menekuni satu ide setiap waktunya, mungkin saya akan pindah dari satu profesi ke profesi lainnya tanpa fokus kompetensi. Jadi, terlepas dari romantisme yang dibangun, pengambilan keputusan besar sejak awal memiliki fungsi praktikal: mengeliminasi pilihan lain yang mendistraksi.

2010, the first bold and right decision

Pengambilan keputusan itu, terutama yang besar dan life-changing matters, memakan banyak waktu dan energi. Kebanyakan orang tidak berupaya untuk memikirkan secara mendalam dan mengambil keputusan besar itu secepat mungkin sehingga menempatkan mereka untuk mengambil keputusan secara terpaksa karena sudah terlampau larut. Resolusi saya di tahun 2010 itu memang dua: meet a woman I will marry and figure out who I want to be. Saya menulis ini di buku catatan saat itu. Mengejar resolusi semacam ini membutuhkan banyak sekali kontemplasi dan pertimbangan, bukan hanya snap judgement. And I spent a lot of hours to think through the decision. Tujuannya, supaya di tahun-tahun setelahnya saya bisa punya ruang untuk berpikir hal-hal lainnya dan fokus ke how, bukan what apalagi why.

Tentu saja, saya beruntung karena keputusan yang diambil bisa berjalan dengan baik, karena jika ternyata pasangannya buruk dan ide bisnisnya tidak tepat, ada puluhan ribu jam yang terbuang sia-sia. Tapi, justru itu, aside the fact that it is indeed a blessing; it doesn’t simply happen by accident. Karena memiliki mindset di atas, saya mencari pendamping yang bisa memberikan energi, bukan mengurasnya; yang bisa menyenangkan untuk menghabiskan waktu, saling mengerti bagaimana harus bersikap, dan bisa saling mendukung terkait hal yang akan terjadi di masa depan. Makanya, di bulan keenam hubungan, saya sudah membahas dan membuat perjanjian 4 bab terkait visi hidup, potensi konflik, hingga semacam user guidelines (harus apa saat pundung, sepakat dengan pola komunikasi, dan sejenisnya). Itu yang menyebabkan konflik dengan pasangan sangat minim, mungkin hanya 3–4 kali dalam satu dekade, dengan hubungan yang tentu saja tetap hangat dan membahagiakan. Semua hal, potensi isu, cara komunikasi, dan ekspektasi sudah selesai, karena dibahas di awal, dan jadi faktor dasar dalam assessment di pengambilan keputusan itu. Di sisi bisnis juga sama, pertanyaan “is this what I want to do in the next 10 years” selalu jadi hal yang dilayangkan berulang sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan itu. Dan saat keputusan itu diambil, I stick to it. Jadi, saat peluang bisnis lain datang, kesempatan beasiswa ke luar negeri hadir, tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi ada, saya tidak tergoda; karena sudah mengambil keputusan yang dipertimbangkan matang-matang.

Memilih pilihan yang besar, tepat, dan segera menghindarkan saya pada jebakan memilih terlalu banyak pilihan. Di usia 20an, kita sering dicekoki ide bahwa kita ada di hadapan samudera pilihan; “we can be whoever we want to be”. This is true, but not necessarily and entirely right. Karena, memercayai hal di atas akhirnya mendorong orang untuk banyak memilih, tanpa memutuskan pilihan. Akhirnya energi kita habis untuk menentukan pilihan, bukan memperjuangkan apapun yang sudah kita pilih.

Not Making Unnecessary Trade-offs

Kalau kita membaca beberapa media anak muda atau mendengar banyak nasehat dari orang-orang untuk usia 20an, banyak yang menyarankan untuk “Jangan nikah cepet, nanti nggak bisa jalan-jalan”, “Senang-senang dulu sendirian, puas-puasin main”. “Jangan cuma sibuk kerja, banyakin solo traveling”, “Kerja dulu, sukses, baru menikah”. Dan hal-hal sejenis lainnya. Menariknya, banyak yang mengikuti saran itu dan menggiring pilihan hidup mereka ke arah sana.

Hal-hal semacam itu pada dasarnya adalah unnecessary trade-offs. Kita menukarkan sesuatu yang penting untuk hal lainnya; atau kita merasa hanya bisa mendapatkan salah satu padahal mungkin bisa keduanya. Contohnya tadi, jangan nikah cepet, perbanyak main dan traveling. Kenapa harus memilih? Padahal, setelah menikah masih tetap bisa main dan jalan-jalan. Di pengalaman saya menjalani usia 20an, saya menikah di tahun 2013, naik pesawat pertama kali di tahun yang sama, keluar negeri pertama kali di tahun 2014, dan sekarang sudah berkunjung ke 25 negara di 4 benua, dari Asia hingga ke Afrika. Mayoritas karena pekerjaan, beberapa kali diselangi solo traveling, beberapa kali dikombinasikan dengan jalan-jalan bersama keluarga.

Saya berkeliling Eropa dengan istri, setelah ikut kompetisi di Finlandia dan Belanda. Saya jalan-jalan ke Jepang dengan istri dan anak, tepat sebelum konferensi startup di Tokyo. Saya bulan madu di Thailand, lalu di tengah meeting dengan investor di Bangkok. Di Oktober 2013, saya memulai eFishery, dan November 2013 saya menikah. Setiap sisi di hidup bisa diintegrasikan tanpa perlu saling menggantikan.

Adakah trade-off? Tentu saja ada. Saat keliling Eropa itu saya numpang tinggal di kamar teman-teman yang berkuliah di sana, padahal bawa istri. Di Jepang saya menginap di Airbnb murah, dengan makan hampir 3x sehari pakai rendang sambil beli nasi onigiri di minimarket, padahal bawa anak 2 tahun. Di kedua hal ini, tiketnya dibayari oleh sponsor dan panitia. Di Thailand, saya menginap di hotel murah dengan makan di Seven Eleven, padahal lagi bulan madu. Saat baru menikah, kami tinggal di salah satu kamar di kontrakan yang disewa sebagai kantor, dimana co-founder dan engineer saya juga tinggal di sana. This is trade-offs, but small and necessary ones.

Orang-orang yang sering menyarankan itu pada dasarnya tidak sadar bahwa: 1) di antara dua pilihan besar dan penting, seharusnya kita mengambil keduanya, 2) bahwa trade-off yang mereka lihat, sebenarnya hanya ada di layer kulit, bukan esensi. Saya elaborasi yang kedua dulu, kenapa banyak yang menyarankan jangan berkeluarga dulu dan perbanyak jalan-jalan, karena yang dibayangkan adalah dengan berkeluarga biaya jalan-jalan secara signifikan menjadi tinggi. Tentu saja ini benar, tapi tidak sepenuhnya tepat. Dengan berkeluarga, frekuensi dan kebebasan jalan-jalan berkurang dan biaya sedikit lebih mahal, tapi toh kita masih bisa tetap jalan-jalan. Di sisi lain, berkaitan dengan poin pertama, setidaknya di level personal saya, jika saya tidak memutuskan untuk berkeluarga, saya justru akan kehilangan sumber energi, kebahagiaan, dan motivasi terbesar untuk tetap mengejar ambisi pribadi. Dan ini sudah dijabarkan di bagian sebelumnya tadi.

Trade-offs ini menjadi hal besar yang dihadapi di muda-mudi 20an yang direpresentasikan dalam konten di zodiak: asmara atau karir? Kesehatan atau pekerjaan? Keluarga atau ambisi pribadi? Yang saya pelajari, kita tidak harus memilih yang mana, tapi cukup memikirkan bagaimana caranya. Di sepanjang dekade, saya berkutat mencoba berbagai macam hal untuk memikirkan hal tersebut. Beberapa pola dan mindset sudah saya buat, seperti bagaimana 24/7 kita selalu menjadi manusia, hingga yang lebih practical seperti productivity hack.

I also paid my dues; I learned about trade-off the hard way.

Di separuh terakhir dekade, sejak Januari 2016, saya kehilangan ayahanda. Yang membuat ini semakin menyakitkan adalah, di bulan-bulan sebelum meninggal, dia selalu meminta untuk dikunjungi, tapi saya seringnya tidak bisa. Di saat terakhir, ayahanda sempat meminta untuk bertemu sebentar dengan saya, tapi saya terlalu sibuk karena eFishery baru saja mendapatkan funding saat itu. Waktu itu, diagnosis dokter bermacam-macam, mulai dari sakit tulang, paru-paru, hingga jantung yang harus pasang ring, tapi saya belum sadar urgensinya. Saya masih berpikir, bahwa saya harus berkorban waktu bersama dengan keluarga untuk mengejar cita-cita yang lebih besar. Saya baru bisa bertemu sehari sebelum saya berangkat ke US untuk Google Launchpad Accelerator, tapi ayahanda sudah hilang kesadaran dan tidak bisa diajak berkomunikasi normal. Sepekan saya di US, saya harus kembali saat itu juga karena ayahanda harus masuk ke ICU. Dokter memberitahukan bahwa ayah mengidap kanker stadium akhir yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Tiga hari kemudian, ia meninggal.

Kejadian itu membuat saya sangat terpukul, karena trade-off yang saat itu saya anggap necessary: visi hidup yang lebih besar dengan waktu bersama keluarga, ternyata salah. Jarak Bandung-Jakarta tidak sebegitu jauh dan sesungguhnya tidak sulit untuk saya meluangkan waktu beberapa hari, atau bahkan beberapa pekan, untuk bisa bertemu ayahanda. Hell, even if the company needs to fail for that, I can start over again. Sementara saat saya kehilangan waktu terakhir dengan ayah yang berjuang sepanjang hidupnya supaya saya bisa mengenyam pendidikan tinggi hingga bisa seperti sekarang, saya tidak lagi bisa mendapatkan hal itu; tidak bisa dibeli, tidak bisa diulang kembali.

Hidup ini memang kadang suka membuat kita luput terhadap hal yang penting dan mendasar, sehingga kita rela untuk menukar itu dengan hal lain yang tidak sebegitu berharganya. We often sacrifice something that we couldn’t lose to get things that we don’t really need. Di usia kepala 2 (dan kepala berapapun for that matter), don’t do unnecessary trade-offs.

Chase Fulfillment, Not Pleasure

Komentar serta pertanyaan orang-orang sekitar saat mempersepsikan bahwa saya sukses, dalam standarnya masing-masing, biasanya dibagi ke dua jenis. Orang-orang yang lebih senior, umumnya keluarga, biasanya menanyakan terkait materi, “katanya sukses, kok nggak beli mobil?”, “bukannya dapet investasi puluhan miliar, kok istrinya jarang dibeliin baju?”. Yang lebih muda, biasanya menanyakan terkait prestasi, “gimana sih bisa menang kompetisi di Belanda?”, “wah keren, kok bisa kepilih jadi Forbes 30 Under 30 sih?”. Saya biasanya menjawab dengan diplomatis, tapi pada dasarnya ingin sekali merespon: none of those matters.

Komentar kelompok yang pertama, sebenarnya sangat wajar. Selama 10 tahun ini, saya hampir selalu mengedarai CB100 tahun 1979 yang sejak 2011 dibeli dengan tabungan sendiri, seharga Rp 3 juta. Paling elite, naik Grabcar. Setelan selalu pakai kaos polos dan celana denim. Satu-satunya peningkatan adalah dari kaos yang tadinya 100ribu tiga biji di Pasjum, jadi yang 70ribuan satu di Yogya. Dari sepatu yang 50ribuan Kosambi, jadi Adidas. Dari jeans cihampelas, jadi Levi’s. Sisanya sama. Tidak ada NMAX, PCX, CBR, apalagi Harley; tidak ada Gucci atau Armani.

Motor setia selama satu dekade

Sebagian besar alasannya tentu saja karena tidak mampu, terutama di separuh dekade awal. Sebagian lainnya, karena pilihan. Banyak sekali rasanya rekan sebaya yang ketika kemampuan ekonominya meningkat drastis, gaya hidupnya pun berubah secara dramatis. Meskipun itu pilihan masing-masing, tapi saya selalu melihat tindakan konsumtif semacam itu merupakan inefisiensi aset. Sumber daya kita yang terbatas, seperti harta, dihabiskan untuk sesuatu yang tidak meninggalkan bekas. Dari sudut pandang pragmatis dan ekonomis, dalam jangka waktu yang menengah-panjang, spending semacam ini menghasilkan return yang negatif. Dari sudut pandang yang lebih sosialis dan spiritual, masih banyak hal lain yang bisa lebih bermakna untuk harta tersebut dikeluarkan secara bijaksana.

Ini adalah jebakan lainnya, yang sering dibahas sebagai hedonic treadmill; kita dipaksa berlari di tempat untuk mengejar kemewahan yang tidak membawa kita kemana-mana. Saya tidak ingin mengelaborasi di sisi ini karena memang sudah sering dibahas dimana-mana. Tapi, yang ingin ditekankan adalah, ketika kita menghindari ‘treadmill’ semacam ini, kita bisa menentukan arah secara nyaman dengan pace yang kita juga putuskan. Dengan meminimalisasi spending ke hal-hal yang tidak sebegitu butuh, kebutuhan hidup saya sebegitu kecil sehingga pilihan yang tersedia lebih luas. Saya bisa memilih untuk menguras tabungan, dan menggunakannya untuk membuat prototype awal satu inovasi yang belum ada sebelumnya. Saya bisa memutuskan untuk tinggal di kantor, tidak ambil gaji selama berbulan-bulan, untuk mempertahankan supaya perusahaan tersebut bisa tetap hidup. Karena bebannya hanya hal-hal yang dibutuhkan saja, saya bisa fokus untuk mengembalikan semua sumber daya ke hal yang fundamental, tanpa harus terpaksa mengikuti hasrat membeli benda-benda material. Kalau saja gaya hidup saya sejak awal mengharuskan gaji di atas Rp 50 juta, mungkin opsi memulai bisnis teknologi untuk perikanan yang memakan waktu lebih lama tanpa bisa memberikan penghasilan cukup, jadi tidak masuk pilihan.

Dan ketika pendapatannya semakin meningkat, karena mindset dan kebiasaannya sudah terbentuk, saya menjadi terbiasa untuk bisa menentukan spending tadi ke hal yang penting lagi. Jadi, uang yang masuk diinvestasi, dibelikan buku, mengikuti banyak kuliah daring, dan sisanya digunakan untuk traveling. Semua hal ini akan memberikan return yang lebih besar dalam jangka panjang dan menengah. Oleh karenanya, motor saya memang tidak meningkat, tapi kapasitas diri jadi jauh lebih berlipat. Dan peningkatan kapasitas diri inilah yang memberikan fulfillment, bukan hanya sekadar pleasure sesaat dari membeli barang-barang yang enak dilihat. Lagi-lagi, dalam konteks yang lebih pragmatis, semua effort, knowledge, dan harta yang diinvestasikan kembali ke bisnis dan kompetensi, akhirnya memberikan return yang jauh lebih besar. Di atas kertas, nilai kekayaan yang didapatkan saat saya menentukan arah dan pace yang mendukung keputusan penting kita yang dipilih dengan leluasa akhirnya bisa jauh lebih besar.

“When I was 25, my net worth was $100 million or so. I decided then that I wasn’t going to let it ruin my life. There’s no way you could ever spend it all, and I don’t view wealth as something that validates my intelligence.” — Steve Jobs

Lalu, komentar kedua terkait prestasi; lagi-lagi ini juga hal yang wajar. Berprestasi di kancah internasional serta mendapatkan penghargaan dari institusi yang fenomenal terdengar memiliki prestise tinggi. Liputan media, nama yang tersanding di dalamnya, akhirnya membuat ini lebih besar dari yang seharusnya. Sayang sekali, hal ini menjadi daya tarik banyak orang untuk menjadikan ini tujuan, padahal sama sekali tidak esensial. Karena, apa nilai yang bisa diberikan dari penghargaan tersebut selain untuk menyenangkan hati kita sendiri?

As Forbes 30 Under 30 asia

Trust me when I say this: those awards and fame don’t matter. Dari GITR 2014 di Belanda, Forbes 30 Under 30 Asia, Ernst & Young Entrepreneur of the Year, hingga MIT Innovators Under 35, itu tidak sebegitu pentingnya. Rasa yang didapatkan setelah mendapatkannya juga tidak bertahan lama-lama, dan juga tidak mengubah apa-apa. Saat terpilih oleh EY, apakah net worth saya naik? Tidak. Apa banyak orang yang tiba-tiba jadi terbantu oleh itu? Juga tidak. Apa yang berubah? Ya diri kita, yang jadi berbangga. And it’s just a pleasure.

Dan jika ada hal yang diajarkan oleh dekade ini kepada khalayak, kasus yang ramai di level global seperti Elizabeth Holmes dari Theranos hingga Anniesa dari First Travel memperlihatkan kita tentang mana yang penting dan mana yang tidak. Puluhan awards dan liputan positif media tentang mereka yang ujungnya, alih-alih menghasilkan value bagi sekitar, mereka justru merampas value dari banyak orang. Apa yang kita tampilkan yang hanya berujung pada validasi eksternal tidak akan banyak membantu; fokus lah ke nilai yang yang bisa diproduksi secara eternal.

Yang saya ingin sampaikan di section ini adalah bahwa di usia 20an, kita mudah silau tergoda untuk mengejar hal-hal yang mudah terlihat: harta, prestasi, ketenaran. Padahal, seyogyanya kita mengejar apa yang selamanya akan terpahat: dampak sosial, role model, ilmu. Kita seringkali buram tentang apa yang dikejar, tak jarang kita berhasrat besar mengejar hal yang tidak mendasar. Sepanjang dekade ini saya belajar, bahwa sedini mungkin kita harus mengingatkan diri untuk tidak mengejar kesenangan belaka (pleasure) yang hanya akan menjadi dahaga yang tiada habisnya. Tantangan terbesar bagi kita adalah sejelas mungkin mendefinisikan diri, secerah mungkin mengetahui apa yang menjadi misi, dan setegas mungkin membedakan apa yang dibutuhkan dan apa yang diingini. Di titik akhir dari itu, ada kebahagiaan (fulfillment) yang bisa kita temukan, dari besarnya energi dan konsentrasi untuk mengejar manfaat yang bisa kita hasilkan. To be who you are, to do what we love, and to have what we need.

My Would-be Notes in My 30s

Panjang juga catatannya ya, dan ternyata terdengar bijaksana. Maklum, yang menulis sudah kepala tiga. Dan dalam menulis ini saya teringat kalimat dari Bill Gates: “Most people overestimate what they can do in one year and underestimate what they can do in ten years”. Setidaknya dalam pengalaman saya menjalani dekade terakhir, quote ini ada benarnya. Hampir setiap resolusi tahunan saya tidak tercapai. Tapi, siapa yang menyangka apa yang bisa saya lakukan dalam 10 tahun terakhir ini. Di awal dekade, saya hanya mahasiswa miskin yang tinggal di kampus dan kurang makan. Di akhir dekade, dengan bantuan banyak sekali orang, bisa membangun perusahaan dengan ratusan karyawan dan produk yang tersebar di seluruh Indonesia serta pilot di empat negara lainnya.

Start of the decade vs end of the decade (kok mukanya nggak jadi ganteng?!)

Banyak sekali impian-impian kecil menyenangkan di dalam bucket list yang berhasil tercapai dan sama sekali tidak dalam rencana; dari mulai safari ke savanna di Afrika, foto di depan menara Eiffel, menonton El Clasico langsung di Santiago Bernabeu, hingga nilai perusahaan yang menyentuh milestone tertentu. Dan tentunya tidak sedikit impian yang besar yang kini semakin dekat; untuk membangun perusahaan yang memberikan dampak bagi banyak orang, berkontribusi dalam menyelesaikan isu kelaparan, dan reinventing the way people doing business.

Meskipun banyak pencapaian dan pertumbuhan yang dihasilkan selama 10 tahun terakhir di usia 20an, dalam lubuk hati rasanya masih belum cukup dalam dan luas rasa kepuasannya. Kemungkinan besar, ini karena semua pencapaian dan pertumbuhannya masih didominasi di level pribadi. Saya berusaha keras dan tumbuh pesat untuk mengubah diri saya sendiri; tapi masih belum bisa terwujud dalam perubahan bagi lebih banyak orang. Di level intelektual maupun material, banyak hal yang menjadi lebih baik secara personal; tapi belum banyak memberikan nilai di level sosial. Dan yang paling menarik, di awal dekade ini saya memulainya dari nol, dimana banyak keputusan didorong dari kebutuhan diri, dan bukan ditarik dari kebutuhan orang-orang sekitar. Jika memang di usia 20an berhasil ‘selesai dengan diri sendiri’, apa kira-kira keputusan dan tindakan besar yang bisa diambil di usia 30an yang lepas dari kepentingan pribadi?

Nah, itu yang akan jadi resolusi di dekade ini. Di usia kepala tiga, saya ingin apa yang saya lakukan bisa lebih memberikan manfaat bagi lebih banyak manusia. Saya ingin meningkatkan kesejahteraan ekonomi lebih dari satu juta orang di dunia. Dan saya ingin menunjukkan bahwa ada cara yang lebih baik dalam membangun bisnis yang tidak hanya mengejar keuntungan pribadi belaka. Bagaimana caranya? Apa bentuk nyatanya? Ya, tidak tahu, tentu saja. Sebagaimana saya memulai dekade lalu dengan tanpa tahu jalannya, saya juga masih belum mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya.

Tapi, saya meyakini apa yang kemarin sempat dibawa akan selalu menjadi bekal dasar untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Bagaimana kalau semua yang pernah dibangun gagal? Ya, tidak masalah, bangun lagi saja dari awal. Mungkin cerita indahnya ternyata bukan tentang keberhasilan di usia kepala dua, tapi kepala lima. Toh, usia ini hanya angka belaka. Yang penting apa yang kita sisakan di kepala, tekad yang kita tanam di dalam dada, dan karya yang kita buat di dunia nyata.

Tiba-tiba saya jadi bersemangat menjalani usia kepala tiga.

--

--