Obat Takut Gagal: No Legacy
Beberapa waktu lalu, saya sempat berdiskusi dengan teman saya yang juga salah seorang founder. Dia sudah exit cukup besar dari startup yang dibangunnya. Karena sudah sukses, waktunya sekarang dihabiskan investasi kecil-kecilan atau baca buku. Istilah kerennya, sabbatical. Sebagai seorang entrepreneur yang berhasil exit dengan kisah yang layak jadi legenda, tentunya saya penasaran apa startup selanjutnya yang ia akan bangun. “Selanjutnya kira-kira apa nih yang bakal dibikin, kang? Put all the money to your next Tesla/SpaceX?”, tanya saya. Merujuk ke Elon Musk yang, setelah exit dari Paypal, langsung menginvestasikan hampir semua uangnya ke Tesla dan SpaceX hingga sebesar sekarang.
“Wah, nggak tau nih. Entah kenapa, sejak punya lebih banyak uang, malah jadi less risk-taker ya, jadi mikirin buat anak cucu nanti. Apalagi pernah exit bagus, somehow jadi takut gagal.”, jawab dia.
Saya awalnya agak terkejut dengan jawabannya. Jelas saja, dia sudah 10 tahun lebih membangun perusahaannya dari nol, dari tidak ada modal, di vertikal yang saat itu baru, hingga berakhir dengan berjaya dan menguntungkan. Waktu memulainya, pastinya banyak sekali resiko yang dia ambil, dengan resources yang nyaris tidak ada, dan pengalaman yang sangat minim. Jika itu dikombinasikan, resikonya untuk gagal lebih besar lagi. Dia tetap melakukan itu, biar bagaimanapun. Kebalikan dari itu, di saat pengalamannya kini banyak, track record suksesnya ada, modal sendiri besar; yang artinya resiko gagal kecil, dia justru cenderung lebih menghindari resiko.
It’s Not About the Chances; It’s the Mindset
Meskipun demikian, setelah dipikir-pikir lagi, dasar dari kekhawatiran dia sebenarnya cukup jelas. Saat pertama kali mendirikan perusahaannya di awal, meskipun resikonya lebih besar, dia tidak punya apa-apa untuk bisa kehilangan. Jadi, opsinya hanya upside. Nothing to lose, a lot of things to gain. Sementara, di titik ini, dia sudah mendapatkan banyak dan memiliki banyak resources, baik itu harta, reputasi, maupun keluarga. Jadi, there is now something to lose. Di sisi lain, tidak pasti upside-nya jelas, terutama karena sekarang dia juga sudah memiliki hal-hal yang lebih dari cukup. A lot of things to lose, not many (new) things to gain.
Bisa jadi, jika di posisi yang sama, saya juga akan berpikiran yang sama. Karena, ketakutan akan kegagalan ini bukan soal probabilitas, tapi soal mindset. Di neraca harta yang berbeda, bisa jadi yang kita lihat justru resiko kehilangannya, bukan fakta akan meningkatnya kemungkinan akan keberhasilannya. Jangan-jangan, saat kelak saya punya likuiditas tinggi terhadap aset saya, alih-alih menjadi Elon Musk, saya hanya jadi mas-mas yang mengoleksi deposito, properti, dan emas-emas.
Nanti Juga Mati
Tentu saja saya tetap berharap nanti bisa sama kerennya dengan Elon: elon-elon sing penting kelakon. Tapi, berpikir soal topik sukses dan gagal jadi teringat kisah kegagalan pertama saya dulu, sekitar 12 tahun lalu saat masih jadi mahasiswa. Di masa itu, di tingkat akhir, saya mendapatkan satu project yang cukup besar dengan nilai ratusan juta. Sayangnya, kemampuan saya mendapatkan proyek pekerjaan ini tidak berbanding lurus dengan kapasitas saya menyelesaikannya. Bukannya untung, malah buntung. Selesai dari project itu, saya meninggalkan hutang hampir Rp50 juta. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang miskin, baru coba-coba berbisnis, dan tidak punya pekerjaan tetap, hutang sebesar itu membuat saya meringis penuh kekhawatiran.
Di tengah keburaman gagal itu, saya bercerita ke sahabat dan Ibu saya, berharap mendapatkan hidayah dan dukungan. Sayangnya, keduanya malah merespon hal yang sama: “Kamu sih, bukannya fokus kuliah dulu!”. Makin menangis lah saya mendengarnya. Untungnya, saya diselamatkan melalui pertemuan dengan senior saya yang lebih dulu menjalani bisnis. Bertemu dengan teman yang kemungkinan senasib, saya menceritakan keluh kesah saya, termasuk hutang dengan nilai tadi, dengan harapan setidaknya punya sandaran untuk bersedih bersama-sama. Anehnya, dia malah tertawa.
“Yaelah, baru segitu, gue sebelumnya punya utang hampir Rp800 juta. Sekarang udah kebayar lunas tuh, santai aja!”, jawabnya, mencoba menghibur saya.
Saya jadi benar-benar lebih santai mendengar cerita itu. Tapi, meskipun sedikit menenangkan, saya masih belum benar-benar tenang sebelum tahu bagaimana cara dia melunasi sisa hutang. Karena, cerita tadi tidak membantu saya membayar kewajiban yang jelas-jelas masih ada.
“Ya simple, kalo loe bisnis satu proyek terus rugi Rp50 juta, pastiin proyek selanjutnya loe untung Rp100 juta, jadi ada lebihan buat bayar utang!”, jawab dia menjelaskan.
“Hmm, benar juga”, ungkap saya dalam hati. Tapi, ini common sense, kan? Kenapa saya tidak kepikiran ini? Karena, yah, itu kan optimistic case, gimana kalau di proyek kedua saya gagal lagi? Hutangnya tidak terbayar, malah bertambah Rp100 juta. Saya tanyakan soal ini ke dia. Jawaban dia ini yang membuat saya tertegun dan mengubah mindset saya selamanya.
“Lah, emang kenapa kalau rugi lagi? Resikonya apa?“, Kata dia.
“Ya nambah utangnya”
“Terus, kalo utangnya nambah?”
“Ya jadi nggak ada uang buat sendiri, jadi ada kewajiban bayar”
“Terus kalo nggak ada uang buat sendiri? Paling gak bisa makan kan. Kalo nggak bisa makan? Paling laper. Kalo laper terus-terusan? Ya palingan mati”, kata dia.
“Nah, semua orang ujungnya pasti mati juga kan? Jadi loe mau nyoba, terus gagal, ujungnya bakal mati. Kalo loe nyoba, terus berhasil, ya mati juga. Kalo loe nggak pernah nyoba, terus nggak pernah gagal atau berhasil, ya sama, mati juga. Jadi, semua pasti bakalan mati. Yang penting, pas hidup, loe mau milih yang mana?”
Life Has No Legacy
Menarik sekali jawabannya. Jawaban dia saya rekam sebagai mental model hidup saya yang setelahnya selalu saya pakai. Berkat itu, bukan hanya selamat dari hutang tadi, bisnis saya setelahnya ternyata lebih berhasil, hingga di titik sekarang. Thanks for that mental model, saya jadi jauh lebih berani mengambil resiko dan tidak takut gagal.
Mental model bahwa kita semua ujungnya akan mati itu sebenarnya bukan hal yang baru. Kematian memang cukup praktikal untuk bisa memberikan kita gambaran bahwa waktu kita di dunia terbatas, jadi seyogyanya kita optimalkan pilihan yang bisa kita lepas. Di beberapa tulisan sebelumnya juga saya sempat elaborasi, jadi saya tidak mau kembali membahas soal mati. Yang menarik dari mental model “ujung-ujungnya mati” adalah nuansa bahwa hidup itu tidak punya legacy. Tidak ada yang kita wariskan, tidak ada yang kita tinggalkan.
Jika ini dikaitkan dengan mindset teman saya yang saya ceritakan di awal, yang membuat dia lebih takut gagal bukan karena resiko tadi, tapi lebih mendasar lagi: karena ekspektasi atau desire terkait legacy. Legacy ini terwujud dalam bentuk reputasi yang dikenal, harta yang diwariskan, anak cucu yang dilahirkan, dan berbagai bentuk lainnya. Karena ingin menjaga supaya legacy tetap ada dan menghindari resiko bahwa legacy ini bisa terpengaruh secara negatif, maka dia memandang ini sebagai bentuk resiko.
Padahal, mereferensikan ke mental model tadi, kita dengan mudah tahu bahwa legacy ini semu. Anak, cucu, dan anak dari cucu kita ujungnya juga akan mati. Harta kita akan tidak ada, dan tidak pula dibawa mati. Nama, tidak seperti peribahasa, sebenarnya juga tidak dibawa mati. Apalagi jika di rentang waktu yang lebih panjang. Coba saja pikir lagi, siapa kita ingat dari pemimpin masyarakat di peradaban era Mayan, di 2000 tahun sebelum Masehi? Padahal, dari literatur, peradabannya cukup maju di saat itu, menemukan banyak sekali invensi. Jadi, bisa saja saat itu banyak inventor, entrepreneur, dan leader handal yang sangat dikenal. Apa 4000 tahun setelahnya ada yang ingat? Tidak ada.
Alam semesta ini ada umurnya. Dan jika, dari estimasi, alam semesta tinggal tersisa 22 miliar lagi, maka di ujungnya tidak akan ada yang tersisa. Apapun yang kita perjuangkan dalam konteks legacy, harta, benda, reputasi, keluarga, semua akan hilang dalam kegelapan dan kehampaan. Jadi, energi yang ada di sekeliling kita sekarang adalah satu-satunya waktu bagi kita untuk menyalakannya. Jangan biarkan padam hanya kita takut gagal, berharap mempertahankan legacy yang di ujung akan berubah menjadi ketiadaan. Yang nyata hanyalah hasil dari yang sekarang kita perjuangkan.