Peak-End Rule

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
4 min readOct 21, 2021

--

Salah satu hal yang paling saya ingat saat membaca buku Thinking Fast and Slow adalah teori Peak-end Rule. Ini adalah bias kognitif di pikiran manusia dalam mempersepsikan sebuah memori di masa lalu. Kita mengingat dan menilai sebuah kejadian/pengalaman berdasarkan bagaimana kita merasakan hal tersebut di momen puncak (most emotionally intense) serta di momen akhirnya saja. Sisanya hampir tidak relevan.

Konsep ini muncul dari eksperimen Daniel Kahneman dan Barbara Frederickson yang di tahun 1993. Di percobaan ini, objek riset diminta memasukkan tangan ke dalam air dingin. Ronde pertama, dilakukan di 14 derajat selama 60 detik. Ronde kedua, dilakukan di 14 derajat selama 60 detik, dilanjutkan dengan 15 derajat selama 30 detik. Lalu di ronde ketiga, responden diminta memilih untuk mengulang salah satu di antara kedua ronde tadi. Logikanya, harusnya orang lebih memilih ronde pertama, kan? 60 detik di air dingin yang tidak nyaman harusnya lebih baik dibanding 90 detik. Tapi, nyatanya tidak. 80% orang memilih ronde yang kedua, karena 30 detik 15 derajat yang sedikit lebih nyaman di akhir justru mengubah persepsi bahwa pengalaman tidak nyaman itu sebenarnya lebih lama.

Riset ini memperlihatkan bagaimana memori kita bukanlah penyimpanan satu pengalaman yang akurat secara sempurna. Kita mengingat sesuatu dengan menyederhanakan sebuah pengalaman melalui penekanan ke puncak emosi serta bagaimana hal tersebut berakhir. Ini lah kenapa, para ibu mengingat proses melahirkan sebagai pengalaman yang indah, meskipun rasa sakitnya luar biasa. Karena seluruh rasa sakit itu kalah dengan puncak emosi dan akhir dari pengalaman tersebut: anak yang terlahir. Sama halnya saat satu hubungan berakhir dengan buruk, misalnya karena diakhiri dengan kebohongan. Meskipun bisa jadi banyak hal manis selama hubungan berjalan dan secara umum relationship-nya bisa jadi lebih baik di antara yang lain, kita tetap akan menilainya sebagai salah satu hubungan yang terburuk, karena emosi yang kita ingat di puncak serta di akhir, buruk.

Ending with a High Note

Saya sendiri pernah mengalami ini terkait pengalaman dengan ayah saya. Karena diakhiri dengan penyesalan akibat dari alfanya saya di saat-saat terakhir, rasa serta memori pertama yang saya ingat terkait ayah adalah sesal saya yang tidak bisa menjadi anak yang berbakti. Padahal, bisa jadi, biarpun begini, saya pernah berbakti dan menjadi kebanggaan orang tua. Dan memang banyak juga pengalaman yang indah dan hangat. Tapi bias kognitif ini sulit sekali untuk diubah karena memang otak kita dirancang sedemikian rupa untuk mengingat pengalaman yang paling intensif secara emosional dan saat ini berakhir: yang keduanya memang buruk.

Setelah menyaksikan langsung bukti dari teori ini, saya selalu berhati-hati dalam menilai sesuatu berdasarkan peak-end rule serta berupaya mengimplementasikan ini secara praktis di bisnis. Setiap ada project yang sulit tapi kita berhasil menghadapi masalahnya dengan dramatis, serta project ini berakhir dengan hasil baik, saya tidak serta merta menganggap bahwa ini perlu ditingkatkan skalanya. Karena, bisa jadi intensitas kepuasan dari penyelesaian masalah dan hasil akhir tadi bisa mempengaruhi penilaian saya secara objektif terkait dampak dan relevansi project ini di bisnis. Lalu, di konteks partnership maupun employment, saya berupaya merancang pengalaman exit yang baik yang bisa mendorong mitra/tim mengingat memori bersama eFishery dengan indah. Saya juga setiap tahun biasanya merancang supaya kuartal empat memiliki target yang lebih besar dengan eksekusi yang lebih optimal, supaya semua tim mengingat tahun itu dengan memuaskan.

Menariknya, akhir-akhir ini, saya memaknai peak-end rule dengan lebih dalam. Kegagalan saya memiliki memori terakhir yang indah bersama ayah mendorong saya untuk membuat ini di hari terakhir kakek, dan ternyata berhasil. Meskipun kelihatannya sepanjang hayatnya kakek dan saya tidak punya banyak momentum yang hangat, tapi karena di pekan-pekan terakhir ada diskusi yang sangat personal, dan di hari terakhir saya meluangkan waktu untuk hadir, saya mengingat pengalaman bersama kakek sebagai momen yang indah. Melihat diri saya sebagai cucu yang baik.

Selain itu, yang paling insightful dari kejadian ini, saat kakek meninggal dengan tersenyum dan menghadap kiblat, Ibu saya bilang “Insya Allah husnul khotimah”. Husnul khotimah miliki arti harfiah ‘akhir yang baik’ (hasan = baik, khatam = akhir). Maknanya dalam sekali, tapi sangat praktikal. Dan berkaitan dengan peak-end rule, jangan-jangan konsep husnul khotimah ini bukan hanya jadi sebuah indikator spiritual saat kita mendekati ajal, tapi memiliki fungsi pragmatis: akhir yang baik di hidup akan memanfaatkan bias kognitif manusia, agar kita dan orang sekitarnya mengingat dan menilai hidup kita dengan baik. Mungkin saja hidup kita sangat banyak melakukan kesalahan dan dosa, tapi husnul khotimah sebagai sebuah konsep akan membuat semuanya tidak relevan. Bahwa karena berakhir dengan baik, maka hidup kita itu baik. Dan hanya itu yang akan kita ingat. Hanya akhir yang penting.

Oleh karena itu, doa yang diambil dari sebuah hadits Ath-Thabrani ini sejalan sekali dengan teori ini: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku adalah umur yang terakhirnya, sebaik-baik amalku adalah amal-amal penutupannya, dan sebaik-baik hariku adalah hari saat aku menghadap-Mu”. It’s all about ending it on the high note. It’s what matters the most. Semoga, dalam hidup, kita bisa mengakhiri momen yang paling berharga kita dengan cara yang terbaik, agar kepala dan hati kita bisa memaknainya sebagaimana mestinya.

--

--

No responses yet