Productivity Hack a la Papah Ganteng

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
13 min readFeb 14, 2019

--

Beberapa bulan terakhir saya banyak diskusi 1-on-1 dengan beberapa orang di tim di berbagai macam level. Dari diskusi itu, saya seringkali mendengar tentang kesulitan mereka dalam mengelola tasks yang banyak, tak jarang di satu waktu. Dan dalam banyak kesempatan, saat tasks sedang banyak, justru mereka bingung mau mengerjakan yang mana, dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa. Ini disebutnya overload paralysis. Di sisi lain, banyak juga yang berpindah tasks atau role baru dan kesulitan untuk memulai karena banyak hal yang tidak diketahui atau banyak hal yang dipikirkan. Ini disebutnya analysis paralysis. Dari diskusi tersebut, banyak yang menanyakan ke saya tentang tips bagaimana mengelola tasks dan pikiran supaya bisa tetap produktif. Makanya saya coba bikin tulisan ini, siapa tahu bisa relevan dan bisa digunakan oleh yang lain.

Supaya nggak dikira kaya motivator padahal cuma jago ngemeng dan nggak pernah action, saya mau pamer dulu buat membuktikan kalau saya beneran produktif, meskipun tidak ganteng. Di eFishery saya mengelola hampir 200 orang dengan 9 direct report, dan sejauh ini bisnisnya masih hidup dan tumbuh. Ada 13 investor institusional dari 7 negara yang perlu di-manage setiap harinya. Di sepanjang tahun, saya mayoritas hands-on di sales, fundraising, day-to-day operation, dan team building. Ini di luar merancang, memulai, dan mengeksekusi beberapa project mulai dari Minh Phu Vietnam, Kampung Perikanan Digital, GSMA, dan hal-hal lain yang ada di pipeline. Tasks tersebut juga mayoritas baru dimana saya harus belajar dari nol, handling functional role sebagai CMO (sales strategy, incentives model), CFO (financial modeling, analysis, projection, investment proposal), hingga level field sales atau recruitment (closing deals, interviewing). Switching role dan belajar hal baru jadi hal yang wajib, karena saya lulusan biologi. Ini pun sepanjang perjalanannya dipenuhi banyak tekanan mental dan pikiran; mulai dari cash habis, tolakan dari investor, customer besar stop, dan lain sebagainya.

Selain itu, tasks dan role di atas juga melibatkan berbagai macam mode, mulai dari thinking (mikir strategi, value), planning (bikin proposal, budget), monitoring (follow up kerjaan, diskusi) sampai executing (jualan di lapangan), jadi banyak switching context juga. Tasks tadi juga mewajibkan saya buat traveling BANYAK banget, mulai dari ke Jakarta (2–5 kali sebulan), jualan ke luar Bandung atau luar pulau (1–3 kali sebulan), hingga ke luar negeri (9 kali setaun, US, Europe, Asia). Di luar kerjaan, saya masih bisa tetap khatam 14 buku dan 3 online courses di 2018, sambil ikut di puluhan mentoring session, speaking engagement, networking events, dan workshop. Di samping itu, ada 1 balita serta 1 istri di rumah yang tetap punya quality time yang baik dan hubungan yang sehat. Serta seorang janda dan dedek-dedek yang juga butuh perhatian dan dibayarin kost-an (ibu sama adik kandung woy!). Jadi, produktif lah ya.

Nah gimana caranya bisa lebih produktif di antara banyak tasks, role, serta tanggung jawab, dengan waktu dan energi yang relatif sama dengan mayoritas orang? Selain soal why-nya yang nggak akan dibahas sekarang, how-nya saya dibantu oleh sistem kerja yang saya contek dari banyak orang. Sistem kerja ini yang membantu saya untuk melakukan pemrioritasan dan mengambil keputusan terhadap mana yang dipilih, serta memberikan alokasi waktu dan energi yang sesuai. Saya membagi sistem kerja ke dalam 3 bagian: mind management, tasks/energy management, dan time management. Sistem kerja ini juga dibantu oleh tools digital yang tersedia di pasaran. Gimana sistemnya dan apa toolsnya? Ini dia.

Mind Management

Semua dimulai dari dalam pikiran. Jadi, kalau pikiran masih acak-acakan, kerjaan pasti acak-acakan. Oleh karena itu, mind management ini adalah kunci. Sayangnya banyak sekali orang yang tidak peduli untuk menata pikirannya supaya kerjaan atau hidupnya lebih tertata. Untuk melakukan ini, saya menggunakan metode yang mirip dengan design thinking, terutama di proses ideation, untuk mengelola isi pikiran saya: share all ideas (brainstorm), diverge, converge, prioritize.

· Brainstorm & diverge

Evernote sebagai Catatan Meeting

Sebagaimana di design thinking, tahapan ini pada dasarnya mengeluarkan semua ide dan menyatakan kalau semua ide itu layak. Nah otak kita sering mengeluarkan berbagai macam ide baru. Sayangnya, nggak semua orang mencatat ide tersebut. Ide produk eFishery, contohnya, awalnya hadir dari celetukan, bukan dari proses berpikir mendalam. So don’t underestimate the value of small ideas. Nah, untuk bisa memproduksi banyak ide, ada 2 hal yang saya lakukan: 1) bikin sesi rutin regular untuk tulis ide apapun yang ada di kepala, 2) ngobrol dengan orang untuk menstimulasi ide, 3) baca artikel atau informasi terbaru untuk dapat ide baru. Dan, ketiga poin ini harus dicatat. Makanya, tools untuk tahap ini saya menggunakan buku catatan dan/atau Evernote.

Evernote untuk menyimpan catatan buku biar nggak hilang

Saya pakai buku karena paling mudah berpikir dengan coretan; I think with my pen. Tapi sekarang coretan buku ini saya arsipkan ke Evernote supaya tidak hilang. Begitu juga kalau saya diskusi dengan orang, saya rekam, saya masukkan ke Evernote. Atau kalau saya baca artikel bagus dan relevan, saya simpan langsung ke Evernote dengan fitur Clip to Evernote. Hasil meeting, yang juga merupakan sumber inspirasi, saya masukkan juga ke Evernote. Jadi, isinya mulai dari brainstorming pribadi, scan catatan, rekaman, hingga artikel.

Evernote untuk menyimpan artikel

Hampir semua dari kita menggunakan buku dan mencatat ide atau hasil meeting, tapi seberapa banyak dari kita yang mengelola itu dengan rapi dan mudah? Ini lah kenapa tools yang ada sekarang, seperti Evernote, menjadi hal yang sangat membantu. Sebagai contoh, Evernote ada fitur Tags dan Notebook, jadi kita bisa menyimpan Tags serta mengelompokkan ide/catatan berdasarkan klasifikasinya. Dan Tags serta Notebook ini mempermudah kita dalam mencari catatannya saat butuh serta menghubungkan antara ide/catatan satu dengan yang lainnya yang sejenis, semuanya bisa dilakukan di fitur search.

Selain itu, tools yang ada juga bisa menyesuaikan dengan kebiasaan kita. Di Evernote, misalnya, kita bisa membuat catatan dengan mengetik, membuat video, audio, dan lain sebagainya. Teman saya yang tidak biasa berpikir dengan pulpen kertas, tapi harus dengan suara atau diskusi, menggunakan Evernote untuk membuat voice note atau video note untuk bisa diskusi. Dan lagi-lagi, semuanya bisa mudah dikelola, dicari, dan diklasifikasi.

· Converge, prioritize

Nah, kalau di tahap awal tadi, kita menggunakan metode diverge, dengan membuka semua kran ide dan informasi, di tahap ini kita mulai converge, dengan memfokuskan ide dan melakukan prioritas terhadap ide mana yang layak dieksekusi lebih dulu. Di tahapan ini, baru kita mulai melakukan clustering, atau mengelompokkan ide atau catatan tadi ke hal yang sejenis. Clustering bisa macam-macam, sesuai kebutuhan kita Saya melakukannya berdasarkan departemen, tapi ini bisa disesuaikan ke hal yang relevan sesuai role masing-masing. Saya memulai pengelompokkan ini di tools yang sama, Evernote.

Clustering ide berdasarkan departemen

Catatan di Evernote ini belum tentu menjadi satu hal yang konkret dan bisa dimaterialisasi. Tapi, pola clustering ini mempermudah kita untuk memproduksi ide sesuai dengan yang kita mau. Contohnya, kalau saya mau membuat satu hal tentang sales, saya tinggal membuka notebook Sales yang isinya catatan meeting, artikel, rekaman, oret-oretan, dan bisa membaca semuanya supaya melengkapi mind map saya. Dari membaca itu, hingga kemudian mendapatkan satu ide program: misalnya pricing prototyping. Ide ini adalah hasil dari mind management yang tertata, tapi tetap masih tahapan awal yang setengah matang, atau disebut juga wacini. Wacini ini kemudian dimasukkan ke tools lain yang saya buat sendiri di Trello.

Personal Wacini Board (censored banyak yang confidential :))

Nah, di tahapan ini lah idenya mulai konkret dan mulai ada pemrioritasan. Saat semua ide terkumpul, saya melakukan klasifikasi yang sama seperti Evernote dengan color-coding wacini tersebut per departemen. Jadi apa yang sudah di-cluster di sana, menjadi satu wacini, yang kembali dikelompokkan. This is when things get interesting. Setiap hari, minggu, dan bulannya, ini yang jadi panduan saya untuk mendorong ide ini jadi kenyataan. Hal yang pertama, tentunya kita memilih mana yang paling prioritas dan paling tinggi dampaknya, itu yang dijadikan tasks paling high impact. Kita bisa tentukan matrix atau indicator apa untuk memutuskan hal ini. Saya pribadi menggunakan Eisenhower Matrix.

Eisenhower Matrix on Decision Making

Dari Matrix ini dan bejibun wacini, saya bisa menentukan mana yang saya lakukan sendiri di skala prioritas tinggi, mana yang saya lakukan sendiri dengan skala prioritas lebih rendah, mana yang saya rencanakan, dan mana yang saya delegasikan. Untuk nomor 1 dan 2 di Matrix, saya tempatkan di High Impact Task di Trello. Sisanya saya buat list untuk mengklasifikasi hal tersebut. Masing-masing dari kita bisa membuat ground rules sendiri terkait ini. Di board personal saya, misalnya, High Impact Task tidak boleh lebih dari 5, dan yang Doing tidak boleh lebih dari 10, supaya beneran akan diekeskusi. Sisanya ya dididelegasikan atau ditunda. Nah, wacini yang saya tulis di Trello pribadi kemudian saya ambil aksi tertentu, entah delegasi atau eksekusi, dan dimasukkan ke Trello board Key Projects & Metrics di team lead. Ini mempermudah saya untuk melakukan monitoring terhadap hal-hal yang didelegasikan atau eksekusi yang butuh kolaborasi tim lain.

Collaborative Trello with All Leads for Monitoring and Delegating

Tasks Management

Nah wacini tinggal lah wacini kalau tidak terwujud dalam sebuah aksi yang dieksekusi. Dengan adanya proses prioritization tadi, itu membantu kita untuk memilih mana yang kita lakukan lebih dulu. Overload paralysis terjadi karena pikiran kita dipenuhi terlalu banyak pilihan, jadinya sulit. Saat sudah jelas mana yang perlu kita lakukan lebih dulu, kita perlu breakdown ini ke tasks kecil yang mudah dilakukan. Saya mendefinisikan ini ke tasks yang bisa saya selesaikan di hari itu. Nah, tasks ini sifatnya sangat kecil dan mudah, sehingga pikiran kita juga tidak terhambat untuk mengerjakan itu. Contohnya, kalau project atau idenya sangat besar, misalnya 300 unit sales per bulan, kepala kita udah pening duluan berpikir kalau itu mustahil, melakukan terlalu banyak analisis. Ini yang jadinya malah kontra-produktif, dan jadi penyebab analysis paralysis. Supaya mudah, di satu project/metric/wacini itu, saya tinggal melontarkan satu pertanyaan: “apa hal yang bisa saya selesaikan di hari ini yang bisa terkait dengan hal tersebut?”. Hasilnya, tasknya sangat sederhana: “Telp Pak Suganda, telp ASM Jatim”, dan seterusnya.

Bite-sized tasks ini jadinya mendorong kita untuk bisa membuat progress, karena melakukan hal yang menurut otak kita mudah dan bisa dikerjakan di saat itu. Tools yang bisa membantu ini adalah to-do list sederhana, bisa offline maupun digital. Saya pribadi menggunakan Any.do untuk hal ini karena fiturnya lebih cocok; ada reminder planning di pagi hari, terhubung ke kalender, di akhir hari bisa digoyang semua finished tasks supaya ada kepuasan tersendiri. Teman saya, Andreas Senjaya CEO iGrow, menggunakan metode stupid paper, yaitu kertas A4 yang dibagi empat, diisi pekerjaan hari tersebut, dan dibawa kemana-mana. Intinya adalah: task monitoring tools itu bisa selalu dibawa kemana-mana, dan membantu kita dalam mengingat apa yang harus diselesaikan di hari itu. Di Any.do yang saya gunakan, bisa dilihat di gambar yang di bawah, bahwa tasks-nya kecil-kecil: kirim email ke A, buat dokumen B, dan lain sebagainya. Tapi task kecil ini merupakan bagian dari wacini besar dan key metric dengan prioritas tinggi.

Any.do untuk manage bite-sized tasks

Jadi, diulang sedikit, untuk membantu menata ini setiap harinya saya tinggal melihat Trello board (personal dan team lead) untuk memilih tasks/project/wacini mana yang perlu atau ingin dikerjakan, lalu saya buat aktivitas-aktivitas kecil yang merupakan turunan dari hal tersebut, yang saya lakukan di hari itu. Saat sistem ini ada, energi kita sudah tidak pusing memikirkan kalau pekerjaan kita banyak, atau tekanannya banyak, jadi tidak terlalu overwhelming. Kita hanya fokus mengerjakan hal kecil yang bisa kita selesaikan di hari itu supaya semua hal bisa menghasilkan progress.

Time Management

Ini yang paling penting. Karena, energi dan pikiran kita kadang bisa di-stretch, tapi waktu kita tidak. Waktu adalah resource yang paling terbatas, makanya saya teramat sangat heran bahwa mayoritas orang tidak memikirkan apa yang perlu dilakukan dengan waktu mereka. Sistem dan pola saya untuk time management hampir 100% mencontek dari artikel ini: https://okdork.com/time-management-tips/. Jadi, silakan baca di sana untuk lebih detailnya ya.

Secara umum, kuncinya ada di 3 proses: plan, allocate, track/evaluate. Terinspirasi dari artikel tadi dan melihat bahwa kebanyakan orang mengatur waktu dan kalender secara bebas berdasarkan tasks, saya membagi berdasarkan alokasi dan sistem clustering yang sama dengan sistem mind dan tasks management tadi. Ini kalender saya yang saya rencanakan setiap harinya dalam satu minggu. Semua slot color-coded supaya lebih mudah dilihat dan dievaluasi. Sistem saya gunakan berdasarkan energy level dan tipe aktivitasnya, yaitu:

· Grey: Travel

· Green: External meeting

· Tosca: Internal meeting

· Red: Networking/social event

· Purple: Sales/Customer/Ops/Investment activites

· Banana: Communication/media (email checking, trello-ing, etc)

· Pink: Family/Personal

· Orange: Learning activities

Color-coded calendar management

Nah sistem time management saya di kalender ini jadi yang menyatukan semua sistem sebelumnya, jadi memang harus koheren. Kalau zoom-in per hari, kurang lebihnya ini yang alokasi waktu harian yang dibuat slotnya.

Daily slots in calendar

Pagi adalah waktu paling cerah, bening, dan bergairah dalam hari kita, makanya saya selalu memulai dengan aktivitas yang biasanya bikin semangat: exercise, day planning. Exercise ini kadang bisa lari di sekitar rumah atau dengan 7-minute workout. Selain menjaga supaya tetap six-pack meskipun tidak ganteng, workout exercise ini membantu menambah energi dan menjaga kesehatan mental. Setelah itu, saya ada slot waktu untuk membaca atau belajar. Ini hal penting yang saya lakukan di tahun lalu, karena tahun sebelumnya saya punya target untuk membaca tapi bahkan membuat slot di kalender saja tidak. Kalau tidak membaca, saya ikut online course di Udemy. Di hari sabtu dan minggu, saya ada slot 4 jam untuk learning activites semacam ini, pagi dan malam hari. Dan dengan adanya slot ini, saat ada role atau tasks baru, kita jadi lebih paham dan kompeten karena meluangkan waktu untuk terus belajar.

Nah setelah itu, ada day planning, dimana saya merencanakan apa yang dilakukan di hari itu, dengan sistem yang tadi disebutkan. Jadi, tinggal buka trello, breakdown jadi tasks, masukkan ke any.do, dan masukkan ke kalender. Ini yang jadi kunci apakah hari tersebut produktif atau tidak. Pola alokasi waktu dan agenda juga sudah ditentukan di kalender dan sejalan dengan sistem yang lain. Jadi, saat misalnya dari perencanaan tersebut ada satu tasks penting yang harus saya kerjakan, saya akan buat alokasi di kalender di pagi hari, karena memang dialokasikan untuk high impact task. Jadi dari list yang High Impact Tasks di Trello, saya alokasikan dalam satu aktivitas (bisa meeting, doing, etc) di slot High Impact Tasks di pagi hari yang sudah ditentukan. Dan kalau ada project kunci atau metric yang didelegasikan ke orang lain, di jadwal jam 3–4 sore saya alokasikan untuk nudging projects, problem solving, atau membuat suatu hal yang berkaitan dengan itu. Isi tasks atau agendanya biasanya “Tanya Danang soal 2.X”, “Diskusi sama Mbak Dwi soal sales report”, dan seterusnya. Jadi tim lain juga merasa kalau pekerjaannya dimonitor, terutama yang kunci.

Di agenda siang hari saya punya slot untuk diskusi dengan tema tertentu: Senin Sales, Selasa Product-related, dan seterusnya, untuk bisa mengambil informasi baru dan update tentang hal internal. ini juga digunakan untuk memvalidasi atau mendelegasi ide yang sudah dibuat di Trello personal yang memang sudah dikelompokkan per departemen juga. Saya set pagi hari untuk melakukan hal yang penting serta butuh energi besar: strategic thinking, planning, dan sejenisnya, karena level energinya masih tinggi. Siang sampai sore digunakan untuk diskusi dan membantu tim dalam menyelesaikan masalah.

Bagian terpenting lainnya ada di malam hari, dimana setelah family time dan saat anak lagi mau tidur, saya melakukan retro untuk agenda hari itu, mana yang berjalan optimal, mana yang tidak. Biasanya pertanyaannya sederhana: “apa yang perlu saya lakukan supaya besok bisa 5–10% lebih baik dari sekarang?”. Khusus di akhir minggu, saya juga punya satu sheet untuk tracking apakah waktu yang dibuat sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Setelah itu, saya membuat improvement plan untuk pekan depan. Tools sheet yang digunakan 100% nyontek dari link yang di atas.

Retro on time and improvement plan

Menurut saya retro ini jadi bagian yang penting banget tapi jarang dilakukan orang lain, padahal sangat sederhana. Dengan melakukan ini setiap hari dan setiap minggunya, saya bisa mengevaluasi apakah waktu yang saya habiskan benar-benar menghasilkan produktivitas optimal atau tidak. Jika tidak, saya bisa melakukan perbaikan. 10% perbaikan setiap minggunya ini yang menjadi progress besar dalam 1 tahun. Kalau itu berhasil kita lakukan, betapa beruntungnya kita; karena sesungguhnya orang yang hari ini lebih baik dibanding kemarin adalah orang-orang yang beruntung!

Konklusi dan Action Steps

Jadi, itu sistem yang saya gunakan. Masing-masing dari kita tentunya bisa membuat sistem sendiri yang relevan dan cocok. Tapi setidaknya ada beberapa hal yang bisa disimpulkan:

1. Buat sistem kerja yang bisa membantu kita mengelola pikiran, energi, serta waktu kita. Gunakan sistem prioritas, dan klasifikasi, supaya lebih mudah menentukan pilihan.

2. Push yourself to produce ideas. Dengan sistem yang tadi disampaikan, kita terstimulasi untuk membuat ide dan wacini baru. Ini yang mendorong kita memproduksi hal baru juga.

3. Focus to get things done. Sistem yang dibuat harus membantu kita untuk menyelesaikan tasks dan wacini tadi. Dengan bite-sized tasks, pemrioritasan, color-coding, itu mempermudah kita untuk menentukan apa dan mana yang perlu kita selesaikan.

4. Gunakan tools. Pemanfaatan Any.do, Trello, kalender yang saya gunakan ini jadi alat bantu yang penting banget untuk memastikan sistemnya bisa jalan. Saya sering bilang “sesuatu yang tidak ada di kalender, maka tidak nyata”, karena semua hal yang ingin saya lakukan di hari itu, tercatat di kalender (yang juga sync dengan Any.do). dengan melakukan ini, saya tidak perlu repot-repot berpikir untuk mengingat apa hal yang perlu saya lakukan, jadi kapasitas otak saya digunakan untuk berpikir menyelesaikan masalah, menyelesaikan tasks, membuat ide baru.

5. Build a routine. Ini yang susah, karena harus istiqomah. Tapi saat rutinnya sudah terbangun, jadi mudah. Contohnya, saya setiap pagi melakukan day planning, dimana hari itu duduk depan computer, buka trello personal dan team lead, bikin tasks dan agenda yang kemudian saya pindahkan ke Any.do dan kalender. Karena udah terbiasa, akhirnya setiap pagi jadi semacam rutinitas yang harus dilakukan, saat itu keskip, rasanya resah dan bisa kacau. Tapi saat itu dilakukan, hari itu saya sudah tahu apa yang harus dilakukan, tinggal nurut ke tools.

6. Evaluate. Seperti yang tadi disampaikan, evaluasi, improvement, jadi kunci untuk terus produktif. Pola kerja, sistem, dan lain sebagainya perlu dievaluasi terus supaya lebih baik.

Mayoritas hidup kita habis untuk hal-hal yang kita lakukan di pekerjaan. Dengan menjadi lebih produktif, kita bisa melakukan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih singkat; sehingga kita punya lebih banyak waktu untuk melengkapi dimensi kehidupan kita yang lain dan merealisasikan sepenuhnya potensi kita sebagai manusia; atau membuat sebanyak-banyaknya amalan dan karya yang bisa kita tinggalkan.

--

--

Responses (8)