Romansa Sederhana
Karena saya sedang kehabisan ide untuk menulis hal yang lebih ada bobot, dan 20 menit lagi deadline untuk submit tulisan, saya jadi membaca tulisan-tulisan jaman dulu. Siapa tahu ada ide yang bisa saya daur ulang supaya menulis dengan lebih gampang. Sedang pusing browsing di blog lama, saya menemukan puisi yang saat dibaca sangat menarik. Dan, jadi semacam artefak romantisme saya di kala itu.
— — — — —
Hujan, Senja, dan Pematang
Hujan kali ini mengingatkanku pada sebuah kejadian yang tidak pernah terjadi: disaksikan sebuah gubuk di tengah pematang, dengan seperangkat rantang dan sebotol termos air panas.
Kau menyiapkanku sepiring nasi, dengan lauk dan sambal terasi. Lalu menyeduhkanku teh hangat tanpa gula, dengan cukup senyummu sebagai pemanisnya.
Kita bercerita tentang hal-hal biasa, tentang bunga di pekarangan yang kau sirami tiap hari, atau tentang anak-anak kita yang senang berlari-lari.
Kita sungguh menikmati hal yang sederhana ini.
Hujan mulai mereda, hanya rintik yang tersisa. Kau dan aku beranjak menuju setapak yang tergenang, dan kau mengajakku balapan lari.
Kecipak air keruh mengotori sekujur tubuh kita yang kelelahan karena gelak tawa. Senyummu terkembang, dan waktu rasanya ingin aku hentikan.
Kita memandangi langit jingga yang tiada ujung, dengan senja kemayu setelah hujan kala itu.
Perjalanan kembali kita lanjutkan, meninggalkan seperangkat rantang dan termos air panas di pinggir pematang, menggantinya dengan bekal mimpi manis yang tiada pernah akan habis.
Kau tatap mataku sesaat setelah kau pandangi ufuk, sinar mentari cemburu tersaingi wajahmu yang syahdu.
Kau mengapit tanganku, dan mengajakku berjalan lambat, menuju pematang lain untuk menikmati senja lagi di lain hari.
Kita sungguh menikmati hal yang sederhana ini.
— — — — —
Ini puisi di tahun 2009, kurang lebih satu tahun sebelum saya bertemu dengan wanita yang kelak jadi istri saya. Di puisi ini, tidak ada citra yang dibayangkan di imajinasi, perempuan di pematang itu hanya fiksi. Semacam sekelebat bayangan tanpa wajah. Tapi, ada sensasi, ada ekspektasi yang terekam. Tentang kehangatan dan kesederhanaan.
Entah mungkin karena muncul dari nasib yang memang prihatin di masanya, ekspektasi saya saat itu terkait romansa tidak muluk-muluk, apalagi transaksional. Saya tidak punya rencana menikahi anak pebisnis ternama, sehingga saya bisa punya akses ke jejaring secara instan. Saya juga tidak ada pikiran untuk mencari pendamping yang tenar di sosial media, agar saat kondangan bisa lebih jumawa. Saya tidak peduli dengan citra eksternal.
Saya berencana menikah di usia 21, yang baru terwujud di usia 23 tahun. Alasannya? “Biar bangun semuanya dari nol, takut keburu sukses duluan”, kata saya saat itu, dengan sombongnya. Tapi, setelah dipikir-pikir, ada benarnya. Mungkin, kalau saja saya menikah di usia 30 saat citra pribadi ini terasa lebih besar dengan berbagai titel dan penghargaan, yang saya cari dari pasangan, bisa jadi, hanya hal-hal yang dangkal saja. Untungnya kenyataanya tidak. Saya menikah tepat satu bulan setelah eFishery secara resmi baru berdiri. Dua tahun pertama pernikahan, tinggal di rumah yang disewa untuk jadi kantor eFishery. Jadi, dasarnya selalu dari kesederhanaan. Alasan bersamanya, muncul dari kehangatan. Sebagaimana nuansa yang terekam di puisi tadi, bersama dengan bayangan fiksi, yang kini telah jadi nyata.
Tentunya, sekarang kita tidak berlari-lari di tengah sawah sambil membawa rantang dan termos. Tapi Go-Food setiap hari makanan favorit kita, dan sesekali liburan ke hotel bintang lima. Tapi, esensi dari hubungan yang dibangun masih sama dengan yang terjejejak di sajak. Malah lebih sendu dari hujan, lebih hangat dari senja, lebih indah dari pematang. Lebih penuh romansa.