The ‘Beungeut’ of eFishery

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
7 min readMar 19, 2024

--

Suatu hari di kantor, dimana wajah saya sedang kusut, pakai kaos warna belel, serta jeans sobek di lutut— yang pada dasarnya bentuk sehari-hari saat itu, salah satu tim saya berkomentar:

“Masgib, rapih dikit kek, nyisir, pake kemeja. eFishery kan udah gede sekarang, and you’re the face of the company”, katanya dengan wajah serius.

Mendengar itu, saya mencoba menerka-nerka motivasi dia menyampaikan hal tadi. Apakah sebenarnya dalam hati ingin menghina tapi dengan bahasa yang diperhalus? Karena di telinga saya, terdengarnya seperti, “Eta bengeut maneh!”. Ah, tidak, tidak, itu refleks alamiah saya saja yang terbiasa dihina urusan rupa. Jangan-jangan, memang niatnya tulus. Jangan-jangan di tingkat yang sekarang, saya harus lebih menata wajah ini yang jadi representasi perusahaan. Setidaknya agar mirip dengan Nicholas Saputra.

Udah mirip ternyata.

Orang yang berkomentar tadi belum tahu saja kalau rupa saya yang semacam ini banyak membawa hoki. Yah, tidak sedikit juga membawa cerita yang menyayat hati. Tapi, memang begitu kan. Sebagaimana sisi mata koin yang ada dua, jika saya dianggap wajah dari eFishery, mungkin saya boleh punya lebih dari satu sisi.

It’s not “face”, it’s ‘beungeut

“Bro, lo itu emang hoki, soalnya muka lo itu cocok dengan sektor bisnis lo”, kata salah satu rekan saya sesama founder.

“Hah, maksud lo apaan?”, jawab saya dengan nada agak menggerutu. Dalam hati saya, sebenarnya sudah gemas. Wajah cocok dengan sektor?! Maksud dia muka saya mirip lele dumbo, hah?

“Eh bener bro, soalnya ada kan founder lain yang sama-sama di bidang agri, dia sering bilang juga ‘I was a farmer myself’, tapi muka dia cakep, blasteran, tanpa noda. Nah, elo kan sering bilang statement sama tuh, investor pasti percaya. Muka lo itu muka pembudidaya!”, jawabnya dengan percaya diri.

Selfie sesama pembudidaya

Walaupun saya yakin ada selipan yang bertujuan menghina, pernyataan dia ada benarnya. Pernyataan pembuka dari pitch saya ke investor sejak awal selalu itu, “I was a fish farmers myself”. Dan ini selalu berhasil menjadi hook pertama, sangat efektif. Efektivitas ini jelas-jelas berasal dari fakta bahwa ini bisa dipercaya. Bayangkan, kalau wajah saya benar-benar seperti Nicholas Saputra, pernyataan tadi jadi kehilangan energinya, nihil dampaknya. Karena siapa pula yang akan percaya pembudidaya bisa sebening itu. Syukurnya, karena ditempa berbagai macam musibah dari kelaparan, panas-panasan, tercemplung ke kolam, dan pelbagai beban hidup lainnya, wajah saya menyuarakan jiwa para pembudidaya yang dekat dengan amisnya bau ikan, meskipun tidak tampan.

The curse side of ‘beungeut

Ada hoki, ada juga sialnya. Wajah yang merepresentasikan pembudidaya, saat perusahaannya di bidang teknologi dan titelnya CEO, kadang agak jauh dari representasi serta ekspektasi. Jurang dari ekspektasi ini menyajikan banyak cerita yang pedih jika diingat.

Salah satunya saat saya berkunjung ke pembudidaya di Bogor dengan tim Digital Marketing. Pembudidaya ini sudah diinformasikan bahwa bos dari eFishery, anak muda sukses, akan datang, jadi dia sudah bersiap. Kebetulan, tim saya yang menemani ini adalah perempuan muda, cantik, keturunan Tionghoa, sebut saja Mawar. Tentu saja, Mawar tampilannya lebih modis. Sesampainya di lokasi, saya berjalan di depan mendekati si Bapak ini, dan Mawar mengikuti saya di belakang. Melihat saya datang, Bapak ini semangat bangun dengan mata berbinar, jalan cepat ke arah saya dengan tangan yang ingin menyalami, tidak sabar. Saya sudah senang langsung menyambut si Bapak. Saat selangkah lagi sampai, dia malah melewati saya dan menyalami Mawar yang ada di belakang.

“Wah, mbak ini bosnya eFishery ya? Selamat datang ya mbak!”

“Hahaha, bukan, Pak. Bosnya ini depan saya, Mas Gibran”, jawab Mawar sambil tertawa puas.

Oalah, salah orang ya, saya kira yang ini supirnya!”

Saya masih membeku dengan kedua tangan di depan. Si Bapak pembudidaya terkekeh tidak enak. Si Mawar semakin tertawa terbahak. Saya tersenyum masam, sambil sedikit tersedak.

Sejak kejadian itu, kalau saya ke lapangan saya tidak lagi serampangan. Setidaknya pakai kaos eFishery. Di lain waktu, karena saya harus mengantar investor untuk berkunjung ke area budidaya, saya pakai kaos hijau eFishery dengan luaran blazer. Setelan CEO masa kini. Saya juga membawa investor asing, satu dari Singapura, satu lagi dari India. Kali ini tidak mungkin salah, semua orang pasti bisa lihat saya CEO. Dan, benar saja. Saat di kolam, semua tahu kalau saya CEO yang datang. Akhirnya, perubahan penampilan membuahkan hasil.

Selepas dari kunjungan, kami kembali ke Bandung, tapi mampir sejenak ke Indomaret untuk membeli camilan. Kedua investor saya tadi turut ikut, dan di dalam Indomaret di tengah pedalaman Pantura, saya bercakap-cakap fasih dengan Bahasa Inggris. Kelihatannya percakapan dalam bahasa Inggris ini terdengar oleh semua pengunjung, termasuk karyawan Indomaret di sana. Saat saya ke depan kasir untuk membayar barang belanjaan, ada dua penjaga yang keduanya perempuan. Mereka melihat saya sedikit-sedikit sambil tersenyum dan saling berbisik. Melihat tingkah mereka, saya tahu kalau mereka terkagum dengan penampilan saya sekaligus percakapan tadi. Jarang-jarang ada di pantura ada sesosok anak muda memakai blazer nan percaya diri berdiskusi dengan orang luar negeri. Pasti wanita-wanita ini terkagum dengan itu. Tapi sudahlah, saya yang rendah hati ini merasa biasa saja dikagumi wanita.

“Ini aja mas?”, kata mbaknya. “Dari mana mas?”, lanjutnya.

“Iya, mbak, segitu aja. Saya dari Bandung”, jawab saya singkat. Dalam hati saya bergumam, ‘Ah saking terkagumnya, mbak ini mencari-cari topik, bisa aja’. Saya membuka salah satu botol kaleng yang saya beli, agar lebih terlihat dingin. Sedingin Rangga di Ada Apa Dengan Cinta.

“Bahasa Inggrisnya bagus loh mas, belajar dimana?”, dia bertanya sembari berbisik tersenyum dengan teman di sebelahnya.

“Belajar sendiri aja kok mbak, sering denger lagu sama nonton film”, jawab saya, sesingkat mungkin, lagi-lagi, agar tampak dingin.

“Wah gitu ya, ajarin saya dong mas”, mbaknya sambil terkikik-kikik, tersipu.

Saya hanya tersenyum. Tapi kali ini, senyuman bangga. Sudah terbaca kan, trik ini pasti keluar. ‘Bisa saja si mbaknya nyekill-nyekill gini’. Di dalam hati saya sedang menikmati perasaan merasa tampan.

“Iya ajarin mas, supaya kita bisa jadi kaya masnya”, kali ini dilanjut si teman mbaknya yang ada sebelah tadi.

“Hah, maksudnya jadi apa mbak?”, senyum bangga saya berubah, jadi mengernyit heran.

“Biar bisa jadi tour guide. Masnya tour guide kan?!”

Uhuk. Saya tersedak sedikit. Saya langsung segera bayar dan ke luar bergegas. Ternyata memakai blazer dan membawa investor asing ini gagal juga memberikan citra CEO secara tegas.

The glowing side of ‘the face of eFishery’

Meskipun terdengar sedih, cerita-cerita semacam itu bagi saya hiburan yang sampai sekarang jadi bahan tertawaan sendiri, dan cerita itu, tentu saja, hanya sebagian kecil. Sisanya, dan banyaknya, menjadi wajah dari eFishery ini berisi dengan kebanggaan.

Pernah di perjalanan kereta malam menuju Tulungagung, ada bapak-bapak yang naik di salah satu stasiun di Jawa Tengah di gerbong tempat saya duduk. Saat lewat sambil melihat nomor kursi, dia berhenti dan langsung mengenali saya, “Mas Gibran, yang punya eFishery ya?”, teriak dia sambil sumringah. Dia langsung menyalami saya, sambil berterima kasih. Setelahnya dia bercerita panjang bagaimana eFishery membantu dia untuk mendapatkan pinjaman dari Kabayan, jadi budidayanya bisa bertambah kolamnya empat kali lipat.

“Makasih ya mas, berkat eFishery saya bisa begini”, kalimat itu disampaikan sambil ia pamit. Dada saya terasa hangat mengalami kejadian tadi. Orang yang saya tidak kenal, dengan tulusnya berterima kasih seolah-olah saya menjadi yang paling berjasa dalam hidupnya. Padahal, yang bekerja keras mewujudkan itu adalah tim yang ada di area. Tapi saya kecipratan rasa bersyukurnya.

Kejadian semacam ini bukan cuma satu, tapi ada banyak sekali. Ada satu pembudidaya 50 tahunan di Cirebon mencium punggung tangan saya dan ingin bersujud, berterima kasih karena eFishery menyelamatkan dia dari kebangkrutan. Istri dari petani di Sulawesi Selatan juga berterima kasih ketika saya datang, karena anaknya jadi bisa sekolah. Satu keluarga di Palembang juga bertemu saya dan menyampaikan syukurnya karena kakek hingga cucunya sekarang terjun menjadi pembudidaya ikan patin, dan pendapatannya bertambah.

Yang terbaru, dan paling jauh, saat saya berkunjung ke India beberapa bulan lalu. Ada satu pembudidaya membawa keluarga besarnya, berkendara 10 jam untuk ke kota Kakinada, karena tahu kalau saya datang di acara sarasehan saat itu. Dengan bahasa Telegu, dia menyampaikan, sambil berurai air mata, berterima kasih karena eFishery bisa mengubah hidupnya. 8 orang keluarganya, satu persatu menggenggam tangan saya, penuh haru. “Terima kasih banyak”, kata mereka satu persatu.

Hal semacam ini lah menurut saya keberuntungan terbesar menjadi wajah dari eFishery. Karena, setiap kata terima kasih yang disampaikan di cerita-cerita tadi, itu mayoritas bukan saya yang mewujudkan. Produknya, dibuat oleh tim produk. Bisnisnya, diracik oleh tim bisnis. Dan ujungnya, tim lapangan yang ada di Jawa Tengah, Sulawesi, Sumatera, India, dan semua yang ada di area dimana eFishery ada, yang menghubungkan ini ke pembudidaya. Bukan saya, tapi para eFisherian yang sumber dari karya nyata tadi. Tapi, saya juga kedapatan balas jasanya.

Jadi, kalau kata rekan saya wajah saya ini beruntung, saya sepakat, tapi bukan karena alasan yang dia sampaikan tadi. Saya beruntung, karena wajah saya adalah wajah dari eFishery; yang bersatu dengan tangan, kaki, otak, dan hati dari semua eFisherian. Mereka semua yang bekerja, berkarya, mewujudkan manfaat-manfaat nyata ada. Dan saya beruntung, karena, sebagai wajah dari eFishery, saya berkesempatan jadi mata yang melihat, dan bibir yang tersenyum dari dampak raksasa para eFisherian.

--

--