Transformational Changemaker

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
10 min readMar 24, 2024

--

The only thing that is constant is change”, katanya. Tentu saja saya sepakat, karena memang benar. Setiap detiknya, hal-hal yang ada di sekeliling kita berubah, termasuk diri kita sendiri. Sebagai sebuah kutipan, pernyataan di atas membantu kita untuk punya kesiapan mental terhadap apapun yang akan ada di depan, karena semua hal tidak akan sama. Meskipun demikian, esensi dari kalimat tadi sangat lemah untuk merepresentasikan perubahan yang terjadi dalam indeks, di ranah yang lebih granular. Padahal, memahami soal perubahan ini jadi kunci untuk menegaskan peranan individual kita, baik di konteks profesional maupun personal, dan membantu kita menavigasi arah diri kita sejak sekarang.

Incremental vs Transformational Changes

Semua hal memang berubah, tapi dalam laju yang tidak sama. Beberapa hal berubah lebih cepat dan lebih drastis, dan hal lainnya lebih lambat dan lebih tipis. Coba lihat saja keseharian kita, lalu bandingkan kondisi saat ini dengan 5, 10, atau 20 tahun lalu. Ada hal-hal yang berganti sangat signifikan, ada yang nyaris tidak ada perubahan.

Hal yang paling mudah ada di cara kita berkomunikasi. Saya ingat, waktu saya SMP, kalau PDKT itu harus ke wartel supaya bisa bercakap-cakap melalui telepon dengan si gadis incaran. Jaman sekarang, semua sudah menggunakan ponsel dan aplikasi. Saya juga masih ingat, saat saya SD, kalau berjalan ke kota lain, ayah saya masih membuka peta kertas untuk mengetahui lokasi. Sekarang, semua sudah menggunakan Google Maps atau Waze. Ponsel cerdas dan internet ini adalah perubahan transformatif dalam cara kita berkomunikasi. Perubahan sejenis ini sifatnya fundamental, mengubah bukan hanya metode, tapi keseluruhan tatanan. Perubahan ini menjadikan tatanan sebelumnya jadi tidak relevan; karena mengganti ke yang sepenuhnya baru. Dan karena perubahan ini sifatnya mendasar, dampaknya juga besar dan luas. Di luar teknologi, banyak lagi contoh lain terkait ini. Di politik, misalnya, reformasi 1998 menjadi perubahan yang jenisnya transformatif untuk Indonesia.

Di sisi lain, dan yang mayoritas ada, perubahan di sekitar kita ada di level yang sedikit demi sedikit, atau incremental. Perubahan incremental ini terjadi secara bertahap dan cenderung dalam waktu yang lebih lama. Sebagai contoh mudah, yang saya lebih familiar, adalah di cara kita membeli ikan. Dulu, dari saya kecil sampai SMA, kalau diajak ibu saya untuk membeli ikan gurame, ya di pasar, dan belinya ikan hidup. Pembelinya membersihkan sisik kemudian kami bawa pulang. Sekarang, kalau saya beli ikan gurame, masih juga sama. Mau di supermarket, hypermarket, saya belinya hidup; dan dibersihkan sebelum dibawa pulang. Paling-paling, yang berubah hanya penjualnya, harga per kilogramnya, atau tempat membelinya yang dulu di pasar becek sekarang di supermarket ber-AC. Tidak ada perubahan yang mendasar. Dan perubahan transformasional lain yang ada di jamannya, juga tidak mempengaruhi hal ini. Internet, reformasi politik 98, smartphone, tidak banyak mengubah cara orang membeli ikan gurame.

Beli ikan gurame ini contoh yang agak ekstrem karena waktu perubahannya sangat lambat. Di luar dari contoh itu, cukup lihat sekeliling kita, mayoritas hal yang ada berubah dengan incremental. Cara kita berpindah tempat, misalnya, 20 tahun lalu, kita banyak pakai mobil dan motor. Sekarang, masih sama, hanya saja, mungkin di kendaraan dengan harga yang lebih terjangkau, teknologi lebih baru, orang yang lebih banyak pakai dan design lebih ciamik. Perubahan ini terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit.

Tentu saja, akibat indeks perubahan yang lebih dramatis, sejarah hanya mencatat orang-orang yang melakukan perubahan transformatif. Orang tidak ingat siapa yang menambah resolusi fitur kamera, menambah kapasitas RAM ponsel, atau mengganti design menjadi warna-warni, tapi semua ingat Steve Jobs yang pertama kali membawa revolusi ponsel cerdas ke pasar. Orang tidak ingat siapa yang membuat design sedan dan SUV, tapi orang ingat Wright Brothers yang pertama kali menerbangkan pesawat dengan awak hingga akhirnya bisa komersial. Orang tidak ingat siapa yang menambah peron atau menaikkan harga karcis KRL Jabodetabek, tapi orang ingat Ignasius Jonan, yang melakukan transformasi besar-besaran di KAI dari kualitas yang sangat buruk hingga pelayanan prima seperti sekarang. History remembers the bold. History remembers the transformational changemaker.

How to Be Transformational Changemaker

Iya, tahu kok, kalau sejarah mengingat pemimpin perubahan transformasional. Itu sudah jelas. Yang jadi masalah, bagaimana caranya kita bisa jadi seperti mereka? Kan, yang sulit, bagian ininya ya. Nah, di sini inti dari tulisan ini. Sebagai seseorang yang berupaya keras untuk masuk ke kategori ini, saya merumuskan beberapa langkah besar untuk menjadi transformational changemaker. Ini hasil dari memeras saripati ide dari diskusi serta bacaan tentang para pengubah besar serta refleksi pribadi dari 10 tahun usaha transformasi di bidang yang saya geluti.

Choose your ‘change’ battleground

Hal yang pertama, dan menurut saya terpenting, adalah secara strategis memilih medan perang perubahan transformasional kita. Kalau tujuan kita adalah menjadi agen perubahan yang benar-benar mengganti di level fundamental, kita perlu memilih area yang memang masih bisa diubah di level tersebut. Sebagaimana hukum fisika, sebesar apapun gaya yang dikeluarkan, tapi jika menuju objek yang tidak bisa bergerak, maka tidak akan ada dampak. Tapi, jangan salah paham, ini juga bukan berarti kita memilih area yang mudah diubah, karena area ini akan mudah berubah secara incremental oleh banyak orang, jadinya tidak bisa cukup drastis untuk bisa dianggap transformasional.

Jika menggunakan matriks ala konsultan McKinsey, saya pribadi melihat area yang bisa berubah dari dua faktor: a) dalam rentang waktu secara historis, seberapa banyak perubahan sudah terjadi, b) secara analitis, seberapa besar resistensi sekarang dan ke depannya terhadap perubahan yang ada. Framework ini akan membantu kita memiliki perspektif lebih dalam terhadap tempat yang diubah. Terkadang, banyak orang langsung terjun dimana ombak perubahan ada; padahal saat perubahannya tinggi dan resistensinya kecil, akan sulit kita jadi pionir yang transformasional. Di sisi lain, seringkali kita ragu untuk terjun ke area yang cenderung lamban berubah, padahal setelah kita dalami lebih jauh, lambatnya perubahan ini bukan karena resisten alamiah yang tinggi, tapi semata-mata karena gaya dorong perubahan yang minim dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Bagian terakhir ini yang menurut saya jadi battleground paling cocok.

Saya beri contoh dari pengalaman saya sendiri. Saat awal saya mau membuat eFishery, saya berdiskusi dengan senior saya, Zaky, yang saat itu belum lama memulai Bukalapak. Zaky sangat yakin bahwa 5–10 tahun ke depan, akan banyak pemodal masuk ke Indonesia di sektor teknologi. Dengan keyakinan itu, dia menyarankan ke saya untuk juga terjun di bidang yang sama dan membuat perusahaan e-commerce lain. Secara high-level, ini saran yang masuk akal. Ombak e-commerce saat itu sedang kencang, dimana Bukalapak dan Tokopedia jadi garda terdepan dengan banyak perusahaan marketplace lain mengikuti di belakangnya dengan diferensiasi bidang lebih spesifik, seperti fashion, otomotif, hingga jasa. Ini terlihat jelas akan ada perubahan transformasional di bidang e-commerce, saya pun bisa melihat itu. Tapi, kalau saya terjun saat itu, saya hanya bisa melakukan perubahan incremental saja, sebagaimana yang lain yang membuat perbedaan sedikit dengan membuat diferensiasi yang lebih niche. Bukalapak dan Tokopedia lah yang sudah menjadi pengubah transformasinya. Jadi, tingkat perubahannya sudah terlalu tinggi dengan resistensi konsumen yang juga rendah, sangat cepat untuk mengadopsi.

Di sisi lain, saya yang saat itu berbisnis perikanan dan sudah membuat purwarupa feeder eFishery, justru mendalami bahwa bidang perikanan ini sangat minim perubahan. Dan semakin saya terjun lebih dalam, semakin saya sadar bahwa perubahan ini bukan akibat dari lambatnya adopsi; tapi minimnya inovasi. Dan minimnya inovasi sesederhana tidak cukup banyak orang yang membuatnya. Saat itu, saya merasa ini ranah yang tepat. Saya bisa menjadi pionir transformasi di bidang ini.

Break it down to granular principles

Setelah kita sudah menentukan medan perang perubahan kita, langkah selanjutnya adalah bagian paling menarik, karena di bagian ini kita dituntut untuk berpikir secara kritis dan fundamental. Ini kunci pertama dari perubahan transformatif.

Respon orang pada umumnya saat memandang realitas adalah menerima dan ikut ada di bagian di dalamnya. Padahal, di sektor manapun yang kita pilih, realita itu adalah warisan dari masa lalu, dan masa lalu ini dirancang oleh orang yang belum tentu lebih pintar dan lebih kompeten dibanding kita. Jadi, entah itu dalam bentuk best practice, kebiasaan, kearifan lokal, serta bentuk lainnya, kita perlu skeptis terhadap itu. Skeptisisme terhadap kualitas dari realita ini akan mendorong kita untuk bisa memecah itu menjadi lebih granular, ke level prinsip. Kita jadi bisa memahami apa elemen paling prinsipil yang memang perlu dipertahankan, dan mana yang memang bisa diganti keseluruhan. Ini yang menjadi realita baru kita. Metode ini sering disebut First Principles Thinking.

Tentu saja, contoh yang paling sering digunakan terkait metode ini adalah Elon Musk dalam membangun SpaceX. Di salah satu wawancara, dia pernah sampaikan, “Physics teaches you to reason from first principles rather than by analogy. So I said, okay, let’s look at the first principles. What is a rocket made of? Aerospace-grade aluminum alloys, plus some titanium, copper, and carbon fiber. Then I asked, what is the value of those materials on the commodity market? It turned out that the materials cost of a rocket was around two percent of the typical price.

Dengan berpikir secara prinsip, Elon Musk akhirnya memutuskan untuk membuat roket dia sendiri hingga ke level material untuk membuat biaya yang lebih murah. Waktu di awal, metode first principles thinking ini juga yang saya gunakan. Karena ingin fokus di perikanan, saya awalnya berpikir untuk membangun produk e-commerce untuk trading ikan, karena trend di luar sana ada di sektor ini. Tapi, setelah didalami lagi, hanya sekadar membuat website tidak akan bisa mengubah sektornya secara fundamental. Yang jadi masalah mendasar sektornya ada di rantai pasok yang tidak efisien, dan situs digital tidak bisa menjawab ini. Di level yang paling granular, dampak terbesar hanya bisa dilakukan di produksi yang dilakukan oleh para pembudidaya. Dan produksi pembesaran ikan ini ditentukan dari pakannya. Kalau pemberian pakannya benar, maka benar juga produksinya. Dan itu yang membuat saya memutuskan untuk membuat teknologi untuk pemberi pakan.

Identify and push the main lever of change

Tiga tahap sebelumnya, itu masih terjadi di alam pemikiran. Tahapan ini yang sudah masuk ke eksekusi. Saat kita sudah tahu sektornya, tahu prinsip yang ingin diubah, dan tahu apa yang akan diubah, selanjutnya kita perlu bisa berpikir bagaimana cara yang paling efektif serta cepat untuk mengubah hal tersebut. Caranya, kita perlu mengidentifikasi tuas pengungkit yang utama yang bisa mendorong perubahan ini bisa terjadi. Di contoh Elon Musk di atas, lever utamanya adalah di cost. Karena tuas utamanya di sana, Elon mencari cara bagaimana bisa menurunkan biaya ini secara drastis, lalu menemukan metode utamanya: membangun roket yang bisa digunakan kembali. Ini yang jadi lever perubahannya, dan Elon memutuskan untuk hanya fokus di situ saja.

Tentunya mengambil contoh di SpaceX ini akan sulit untuk menemukan relevansi, karena, yah, well, it’s rocket science. Oleh karena itu, saya lebih suka menggunakan teori 7 Levers of Change dari Howard Gardener ini, karena ini melihat tuas perubahan dalam konteks adopsi di level sosial, dimana mayoritas resistensi ada di sana, bukan di level teknologi atau produknya. Konsep ini bisa kita gunakan untuk mengidentifikasi serta melakukan kategorisasi mana yang menjadi tuas perubahan kita.

Definisinya berbeda-beda, dari mulai data serta analisa hingga faktor makro, seperti Covid-19 ataupun krisis ekonomi. Di eFishery, saat di awal, yang menjadi lever utama perubahan adalah di bagian Resonance, ini adalah lever yang memperlihatkan bahwa perubahan didorong dari keterhubungan emosi dalam mengubah pikiran seseorang, termasuk kedekatan emosi di level komunitas. Ini yang saat itu kita eksploitasi. Meskipun demikian, cara terbaik untuk identifikasi ini adalah dengan melakukan satu persatu, dan mengukur mana yang paling efektif untuk mengakselerasi itu.

Use external transformational change as tailwind

Setelah itu semuanya berjalan, baru kita kembali zoom-out untuk melihat perubahan di level yang lebih makro. Sektor-sektor yang ada di hidup kita, bisa sangat mempengaruhi. Jadi, saat kita cukup jeli melihat perubahan yang ada di luar, yang sekiranya transformasional, kita bisa menggunakan daya tersebut untuk menjadi pendorong perubahan transformatif di sektor yang kita geluti.

Sebagai contoh, di tahun 2018, saat itu sedang sangat banyak bermunculan fintech dengan model P2P lending, terutama di bidang UMKM. Munculnya hal ini jadi perubahan transformatif di bidang keuangan, dimana jasa keuangan sebelumnya sangat rigid, kali ini bisa inovatif. Di waktu yang sama, kami di eFishery sedang mulai melakukan pilot untuk menjual pakan, dimana feedback utama dari pembudidaya adalah untuk bisa membelinya dalam kredit. Saat memikirkan solusi ini, saya tidak hanya fokus ke internal saja, tapi melihat perubahan di luar yang terjadi. Dengan melihat adanya perubahan transformatif di ranah fintech tadi, saya melihat peluang untuk bekerja sama dengan mitra P2P lending, karena mereka memiliki driving force yang tinggi juga untuk bisa mendorong perubahan di sektor perikanan. Ini lah awal munculnya layanan Kabayan (Kasih, Bayar Nanti). Saat ini, setahunnya bisa menyediakan limit pinjaman hampir Rp 1 triliun dan menjadi contoh perubahan transformatif di layanan keuangan industri perikanan; dan itu semua terjadi karena ‘meminjam’ dorongan perubahan transformatif di sektor lainnya.

Be bold: accelerate the incremental changes

The last but not least: kunci dari perubahan transformatif adalah mengakumulasi incremental changes di waktu yang lebih singkat. Meskipun tema tulisan kali ini soal perubahan transformasional, kita perlu menyadari satu hal pasti yang ada di kondisi alam: tidak ada sesuatu yang instan. Perubahan yang besar adalah kesatuan dari perubahan-perubahan kecil, yang diakselerasi. Jadi, meskipun ada di sektor yang tepat, memilih hal yang tepat, dengan strategi yang juga cermat; kuncinya adalah di konsistensi untuk mempercepat perubahan-perubahan kecil agar skalanya bisa besar secara pesat.

Caranya? Ya cara yang basi: berani dan penuh persistensi. Nama-nama yang dikenal di sejarah, yang saya sebutkan di atas tadi, tercatat sebagai transformational changemaker bukan karena dia satu hari ketiban rejeki yang akhirnya mengubah segalanya dengan drastis. Steve Jobs membangun Apple di tahun 1976, harus dipecat, memulai NeXT, direkrut kembali, membuat iPod, dan akhirnya bisa mentransformasi ponsel di tahun 2007. Di tengah-tengahnya ada banyak iterasi teknologi yang akhirnya bisa menjadi dorongan energi untuk Steve Jobs membuat perubahan besar tadi.

Ini juga yang saya alami di pengalaman pribadi membangun eFishery. Butuh waktu 11 tahun untuk bisa melakukan perubahan besar, itupun tidak cukup transformasional. Tapi, 11 tahun itu berisi dari berbagai macam eksperimentasi, kegagalan, keberhasilan, dan perubahan-perubahan kecil yang kami koleksi. Di akhirnya, mungkin sejarah tidak mencatat kami sebagai pengubah yang transformasional. Tapi, tidak ada apa-apa. Karena, selama kita berniat untuk melakukan perubahan, besar atau kecil, gagal ataupun berhasil, dunia setidaknya bisa berubah ke arah yang lebih baik; hanya karena kita sudah berani mencoba.

--

--