Ubah Hidup, Ambil Resiko

Gibran Huzaifah Amsi El Farizy
13 min readFeb 7, 2023

--

Pernah nonton “The Last Dance”? Ini salah satu sport documentary terbaik yang pernah saya saksikan. The Last Dance ini menceritakan soal Michael Jordan dan dinasti Chicago Bulls, yang disebut sebagai tim basket paling melegenda. Ini serial yang, saking kerennya, tak terhitung momen-momen yang mengguncang pencinta olahraga di setiap episodenya. Yang menariknya adalah, di antara berbagai kisah inspiratif dari Michael Jordan, justru satu cerita yang paling saya ingat tentang Scottie Pippen, di episode kedua. Semua penggemar basket pasti tahu siapa dia: the Robin for MJ’s Batman, one of the best players ever. Kelihatannya tidak akan ada dinasti Chicago Bulls tanpa dia. Nah, menariknya, di episode itu disampaikan statistik yang mencengangkan: Scottie Pippen menempati ranking 2 di Chicago Bulls untuk scoring, hanya di bawah Michael Jordan; kedua di rebound, kedua di menit bermain, nomor satu di assist dan steals, tapi hanya nomor 6 di urusan gaji di Bulls. Dan no 122 di NBA. Karena otak saya isinya seringkali duit, mendengar statistik ini membuat dahi saya mengernyit.

Apa alasannya pemain yang arguably kedua terbaik di NBA saat itu hanya dibayar di urutan ke-122? Apa karena UMK yang berbeda? Tentu tidak. Alasannya ini yang membuat episode ini paling mengena di ingatan. “I felt like I couldn’t afford to gamble myself, getting injured and not being able to provide”, katanya. Scottie Pippen berasal dari keluarga besar yang miskin, dimana ayah dan kakak laki-lakinya lumpuh sejak dia usia 11 tahun. Jadi, saat dia masuk ke NBA, dia jadi tulang punggung utama keluarganya. “I needed to make sure that people in my corner were taken care of”, tambah Scottie. Karena tidak mau ambil resiko cedera atau underperforming dan kemudian tidak bisa menafkahi keluarganya, dia memilih menandatangani kontrak panjang dengan gaji yang tetap selama 7 tahun. Dan di tahun-tahun tersebut, performanya luar biasa meningkat, popularitas liga serta timnya juga naik hebat, pendapatan rerata seluruh pemain NBA melesat, tapi gaji Scottie Pippen diam merambat. Dan itu disebabkan oleh dia yang memilih untuk tidak ambil resiko. Dan dia takut mengambil resiko, karena dia berasal dari keluarga yang miskin.

Kemiskinan dan Disparitas Resiko

Meskipun tinggi badan serta keatletisan yang sangat jauh berbeda dengan Scottie Pippen, setidaknya di urusan mentalitas terhadap resiko, ada banyak kesamaan antara saya dengan Scottie, dan mungkin juga dengan banyak orang lainnya. Mentalitas ini memperlihatkan bahwa resiko itu tidak sama, ada disparitas dalam kita memandangnya. Dan disparitas ini dilihat dari latar belakang kita. Orang dari keluarga yang tidak mapan, akan menaksir sebuah resiko yang sama dengan jauh lebih tinggi dampaknya dibandingkan orang lain dari keluarga yang kaya.

Salah seorang rekan saya, yang dari keluarga kaya raya, mudah sekali mengambil resiko. Dia investasi di banyak instrumen. Dia membangun perusahaan yang cepat sekali tumbuh dengan karyawan tiga ratusan, dalam kurun waktu 1,5 tahun. Sementara, saya, di saat yang sama saat itu, masih membangun eFishery dengan sangat perlahan dengan tim yang tidak lebih dari 40 orang selama 3 tahun pertama. Apa karena dia lebih kompeten dibandingkan saya? Saya rasa tidak. Tapi, dia jauh lebih berani ambil resiko. Dan ternyata, ini terbukti. Saat bisnisnya besar sedikit, meskipun belum sepenuhnya profitable, bisnis tersebut berhasil dijual. Pembelinya? Grup perusahaan keluarganya. Ini dia yang saya tidak punya. Saya yakin, jikalau pun bisnisnya gagal, dia punya banyak pilihan untuk bisa berkarya dan tetap kaya. Sementara saya, yang semua modal sendiri dan memiliki lebih dari satu keluarga yang harus dinafkahi, harus mengambil keputusan untuk tumbuh dengan sangat berhati-hati.

Hal semacam ini saya amati di banyak bentuk. Setiap mewawancarai beberapa kandidat pekerja, saya mengobservasi bahwa orang yang dari latar belakang keluarga yang menengah ke bawah, terlebih lagi jika dia menjadi pemberi nafkah, punya kecenderungan memberikan ekspektasi gaji yang rendah dibanding kelayakan kompetensinya. Sedangkan yang latar belakang berkecukupan, justru sebaliknya, gaji yang diminta lebih besar dibandingkan kemampuannya. Ini, saya rasa, didorong oleh kekhawatiran atas resiko untuk tidak mendapatkan pendapatan sama sekali. Jadi, daripada meminta gaji yang terlalu tinggi tetapi beresiko untuk ditolak dan akhirnya tidak bisa membiayai keluarga, kalangan kelas menengah ke bawah lebih memilih untuk “main aman”. Mereka lebih baik menerima opsi yang lebih rendah, karena bagi mereka, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Di banyak titik, saya juga seringkali merasa seperti ini. Kamu merasa begini juga? Selamat, kamu satu mentalitas dengan Scottie Pippen.

Nah, yang jadi masalah adalah, ini semacam lingkaran setan. Orang yang miskin, secara mental lebih tertekan untuk tidak berani mengambil resiko yang bisa membuka ke peluang pendapatan lebih tinggi; yang akhirnya membuat mereka tetap miskin. Dan orang kaya lebih leluasa untuk mengambil resiko, yang membuat mereka bisa semakin kaya. Jadi, disparitas ekonomi serta sosial bisa semakin melebar, karena ada disparitas dalam pengambilan resiko, yang memang didorong dari disparitas ekonomi serta sosial di awalnya. Dengan kata lain, di konteks yang pragmatis, dengan mengesampingkan faktor sistemik, makro, dan idealitas, cara untuk meningkatkan kekayaan strata masyarakat yang miskin adalah mendorong mereka untuk bisa mengambil resiko, supaya mereka bisa bertambah kaya.

Oleh karena itu, lagi-lagi, tanpa mempertimbangkan faktor makro, konsep social safety net, distribusi kekayaan, peranan negara, dan hal-hal lain di luar kendali saya, yang saat itu secara praktikal saya lakukan ke diri saya sendiri adalah menerapkan mental model yang baru yang bisa mendorong saya untuk lebih berani mengambil lebih banyak resiko. Dan ternyata, ini agaknya cukup memberikan hasil.

Assessing Your Risk and Reward

Kata orang, “high risk, high gain”. Ini seringkali disalahartikan bahwa segala sesuatu yang resikonya besar, pasti punya hasil yang besar juga, dan sebaliknya; untuk mendapatkan hasil yang besar, kita harus berani mengambil resiko yang besar. Ini ada benarnya di beberapa konteks. Tapi, di banyak hal, ini tidak sepenuhnya tepat. Coba kita hitung, apakah resiko melompat dari lantai 34 itu besar? Ya besar, hampir 100% akan mati. Apa ada hasilnya? Ya, tidak ada, cuma mati saja. Jadi, tidak semua yang resiko besar pasti hasilnya besar.

Di sisi lain, ada juga yang reward-nya besar dengan resiko sangat minim. Misalnya, Anda jatuh hati pada pandangan pertama. Tak jarang orang yang ragu dan malu untuk mengambil langkah pertama, karena takut ditolak, katanya. Padahal, reward yang didapatkan besar sekali: mendapatkan pasangan sehidup semati. Tapi, risk-nya minim, hanya sekadar malu jikalau dianya yang tidak mau. Itulah kenapa, meskipun wajah saya ini beresiko membuat banyak gadis berlarian ketakutan, dari dulu saya selalu berani mengambil langkah pertama pendekatan. Bukan karena kepercayaan diri yang terlampau tinggi, tapi memang kalau tidak beraksi, dalam perspektif risk/reward, ini jelas-jelas merugi. Bukan urusan tampang, tapi faktor resiko dan potensi yang timpang.

Biar dikira anak McKinsey

Jadi, high gain tidak selalu high risk. Faktor resiko serta potensi hal yang bisa didapatkan berbeda-beda. Dan cara kita beraksi terhadap itu, bergantung proporsi. Kalau high risk, low reward, ya untuk apa kita lakukan. Dan jika high reward, low risk, ya tunggu apalagi, perlu segera kita eksekusi. Mungkin banyak yang mengira kalau ini sesuatu yang jelas nyata. Tapi, jika dipikir-pikir, tidak juga. Di keseharian, kita seringkali dihadapkan ke sesuatu yang resikonya jelas-jelas tinggi, tapi reward-nya rendah, dan tetap saja kita lakukan. Apa misalnya? Merokok. Resikonya sudah terbukti besar, reward-nya juga nyaris nihil, tapi ratusan juta orang masih melakukannya. Di spektrum yang lain, membaca buku atau belajar hal yang baru juga menjadi salah satu contoh aktivitas yang jelas-jelas reward-nya tinggi, effort-nya rendah, resikonya hampir tidak ada, tapi tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah.

Jika dua kuadran tadi saja sudah tidak terlalu kasat mata, ada lagi yang lebih implisit dari itu: hal-hal yang low risk dan low reward. Lah, memang ada? Oh, ada, justru sangat banyak, tetapi tidak tersadar. Apa itu? Ya, hidup yang stagnan dan anti-perubahan. Kehidupan yang banal adalah indikasi dari proses yang minim resiko yang satu paket dengan minimnya pertumbuhan. Tidak ada peningkatan pendapatan, minim perubahan jalan hidup, dan tanpa pembelajaran yang baru. Menurut saya, kuadran inilah yang banyak orang terjebak di dalamnya. Terpenjara dalam godaan untuk menjadi biasa-biasa saja, melakukan hal yang itu-itu saja.

Jika hal yang low risk low reward ini adalah pangkal dari stagnansi, kuadran high risk high reward itu kunci dari progress. Mayoritas transformasi, inovasi, mobilitas vertikal, peningkatan kesejahteraan, dimulai dari pilihan yang resikonya besar dan ganjarannya pun besar, nyaris tanpa terkecuali. Dari evolusi manusia yang mengambil resiko untuk bertahan hidup dengan keluar dari dalam gua, hingga teknologi kecerdasan buatan yang kini punya banyak pengguna; semua diawali dari orang-orang yang berani mengambil resiko. Di level individual, sebagaimana disampaikan di awal, keberanian untuk mengambil resiko ini langkah pertama untuk meningkatkan taraf hidup.

Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana kita memiliki mentalitas untuk berani mengambil resiko kalau resikonya memang terlalu besar bagi kita? Apa kita harus melompat nekat begitu saja? Oh, tidak, setiap pola pengambilan resiko tidak bisa hanya berbasis keberanian belaka, tapi dengan framework yang lebih tertata.

The Risk that You’re Willing to Take

Sebagaimana yang disampaikan di atas, persepsi terhadap resiko memang memiliki disparitas. Di resiko yang sama persis bentuknya, penakaran setiap orang akan berbeda-beda, tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, hal pertama untuk bisa mengambil resiko adalah menakar sampai sejauh mana resiko ini berani kita ambil. Dan untuk ihwal ini, takarannya sangat individual. Kita jelas-jelas bukan keturunan cucu dari Hartono bersaudara, tapi biar bagaimanapun, kita tetap bisa punya toleransi terhadap resiko, meskipun pasti tidak sama. Ini yang perlu ditentukan pertama-tama.

Jika orang lain berani mengambil resiko satu miliar, mungkin kita hanya bisa mengambil resiko satu juta. Jika orang lain bisa mengeksplorasi passion-nya dengan tidak mendapatkan penghasilan selama dua tahun, mungkin kita hanya bisa melakukannya selama satu bulan. Orang kaya mungkin memiliki limit resiko yang sangat besar, tapi ini tidak berarti yang miskin sama sekali tidak memiliki saldo untuk mengambil resiko. Dengan kita menentukan berapa banyak resiko yang kita mampu ambil, kita jadi bisa maju untuk berproses, dan berproses untuk maju.

Konsep ini biasa digunakan di bidang trading saham, yang disebut Risk/Reward Ratio (RRR). Sederhananya, kita menghitung serta menentukan berapa limit resiko yang bersedia kita ambil, yang jadi batasan untuk kita melakukan cut loss, supaya resikonya tidak lebih besar lagi dari itu. Dan di skala sebaliknya, kita juga menentukan berapa target keuntungan sebelum kita memutuskan untuk menjual saham dan mendapatkan profit.

Jika diterapkan dalam kehidupan, resiko yang paling bisa dihitung adalah modal uang, energi, atau waktu. Ini yang perlu kita tentukan batasannya rasionya. Sebelum dulu memulai eFishery, saya sudah memiliki bisnis kuliner serta kolam ikan kecil-kecilan. Saat pertama kali terpikir ide eFishery, resikonya sangat besar. Ini ide yang belum banyak yang mencoba, membuat perangkat IoT untuk pembudidaya ikan di desa-desa. Menyadari hal ini, waktu itu saya tidak lantas langsung melompat untuk memulai, meskipun saya sangat excited dengan ide ini. Di awal, yang ditentukan adalah batasan risk serta reward saya. Saya membatasi modal saya untuk membangun purwarupa sebatas Rp3 juta, serta waktu 3 bulan untuk merealisasikannya. Jika ini tidak memperlihatkan hasil, saya akan meninggalkan ide tersebut sepenuhnya.

Saya langsung eksekusi, memulai untuk membangun hal tadi. Hasilnya, di 2 bulan pertama, saya sudah berhasil memiliki prototype yang bentuknya tidak indah. Tapi, setidaknya, menembus target hasil yang saya canangkan.

Prototype hasil risk/reward ratio analysis

Fungsi utama penentuan resiko ini tentu saja supaya kita tidak terjerumus ke resiko yang justru menjadi berbahaya. Akan tetapi, ada alasan yang jauh lebih penting dari itu. Menentukan resiko di level yang granular yang bisa kita ambil, adalah cara mendorong kita untuk fokus ke eksekusi. Ini karena di pikiran kita, kita tahu bahwa resikonya kecil, terbatas, jadi kita tidak terbelenggu oleh ketakutan atas resiko yang terlalu berlebihan. Di contoh di atas, saya tidak akhirnya jadi banyak berpikir tentang resiko kegagalan kalau langsung memulai bisnis besar di ranah yang benar-benar baru, lalu meninggalkan pendapatan pasti yang sudah saya dapatkan. Bagi saya saat itu, resikonya hanya uang 3 juta dan waktu 3 bulan. Jadi, seburuk-buruknya, saya hanya kehilangan uang 3 juta dan waktu 3 bulan saja. Sementara itu, reward-nya, saya bisa mewujudkan ide baru tentang produk teknologi yang saya bayangkan.

Gradually Stretching Risk/Reward Limit

Namun, kita tetap perlu berhati-hati, karena reward itu seringkali menipu. Kita sudah berhasil membatasi limit resiko, mulai perlahan eksekusi, tapi pencapaian sedikit bisa saja bisa-bisa mendorong kita untuk langsung mengambil keputusan penuh untuk melompat, padahal kita belum sepenuhnya siap. Akhirnya kita bakal tenggelam di resiko yang semakin dalam. Bagian ini yang berbahaya. Ibaratnya, kita sedang berjudi di kasino, sudah membatasi berapa banyak modal yang kita bersedia hilang, tapi baru menang sekali, mendapatkan sedikit, kita langsung semangat mempertaruhkan semua chip yang kita pegang. Ini bertentangan dengan framework tadi. Jadi, sebagaimana batasan resiko kita tentukan, batasan reward juga perlu kita tetapkan, dan perlahan-lahan kita geser tujuannya untuk bisa lebih ambisius, saat resikonya lebih bisa kita takar.

Melanjutkan cerita di atas tadi, waktu saya berhasil membuat purwarupa eFishery dalam waktu 2 bulan, saya tidak langung menjual bisnis saya yang lain dan memulai ide ini. Saya tahu, sebagai lulusan biologi, resikonya masih terlalu tinggi. Untuk itulah, tahapan selanjutnya adalah menemukan co-founder. Di pertemuan pertama dengan kedua co-founder saya saat itu, yang kami bicarakan setelah mendiskusikan visi adalah membahas tentang target resiko serta reward yang kita sama-sama bisa ambil. Saat itu, masing-masing dari kami sudah memiliki bisnis sendiri-sendiri. Saya punya bisnis kuliner dan perikanan, co-founder saya yang satu ada bisnis perangkat lunak, dan yang satu lagi di bisnis properti. Saat ingin berkongsi, kita sepakat untuk harus bisa berkomitmen penuh di sini. Tapi, sebelumnya, kita bersepakat terlebih dahulu tentang risk/reward tadi. Kami menentukan untuk mencoba ini selama 6 bulan dulu, ini risk limit kita. Di 6 bulan ini, semua mengupayakan untuk bisa mendapatkan modal, proyek besar, serta calon konsumen. Ini yang menentukan bahwa bisnis ini feasible. Ini reward target kita. Jika ini tercapai, kita akan sepenuhnya di eFishery dan melepas semua bisnis yang kita miliki; tapi jika ini tidak, ya sudah, kita kembali ke bisnis kita masing-masing. Jadi risk/reward ratio-nya tetap jelas.

6 bulan setelahnya, untungnya, 3 hal itu bisa tercapai. Produk sudah jadi, customer ada, modal juga cukup, kami bertiga berkomitmen untuk mengambil lompatan sepenuhnya. Saya menjual bisnis kuliner saya, co-founder saya juga melepas bisnis-bisnis mereka. Kami fokus untuk penuh membangun eFishery. And the rest is history.

Kalau kita melihat ini di bagian akhirnya saja, terkesan bahwa tiga orang tadi dengan teguh mengambil lompatan penuh keyakinan untuk membangun ide bisnis yang baru. Nyatanya, tidak. Yang kami lakukan adalah sama-sama menentukan indikator resiko serta reward yang jelas untuk tetap fokus ke eksekusi. Jika saat itu gagal, ya kami hanya kehilangan waktu serta energi selama 6 bulan. Tapi, saat itu berhasil, semua sudah cukup memiliki validasi yang lebih jelas untuk mengambil lompatan yang lebih tegas. Bayangkan, jika ini hanya modal nekat. Mungkin, saat tahap-tahap awal ide eFishery langsung gagal, kami sudah melepaskan satu-satunya sumber pendapatan. Yang akhirnya resikonya jadi tidak terukur karena terlena dengan godaan reward yang juga tidak benar-benar ditakar.

True Reward Outsizes the Risks

Tentunya, saat hal-hal tadi dilakukan, bukan artinya resikonya menjadi nol. In most cases, high gain indeed comes with inherently high risk. Dengan keputusan yang terukur, bukan berarti kemudian kita terhindar dari berbagai resiko sepenuhnya. Tapi, dengan framework tadi, setidaknya kita secara bertahap bisa lebih berani mengambil resiko yang lebih besar, untuk perubahan yang juga lebih besar. Karena resiko dan progress yang dibangun lebih terkalkulasi dan bisa terkelola.

Meskipun demikian, hal seperti ini tidak bisa dilakukan sepenuhnya di atas kertas dengan angka. Di akhir, ini akan kembali ke mentalitas kita. Meskipun menggunakan framework tadi, kisah setelahnya membangun eFishery tidak serta merta bebas resiko. Saya ingat, di tahun kedua, meskipun menggunakan berbagai kalkulasi, saya tetap ada di posisi yang perusahaannya hampir tutup. Kehabisan uang, proyek besar terlambat membayar, secara pribadi tidak mengambil gaji selama 9 bulan, semua aset habis dijual untuk membayar gaji karyawan, kartu kredit limitnya sudah penuh, dan setiap jam dikejar-kejar bank yang menagih KTA. Ini semua terjadi demi mempertahankan eFishery supaya tidak mati.

Di tengah resiko besar untuk kehilangan pendapatan, ide yang kandas, hutang ratusan juta, ditambah lagi, saat itu sang istri sedang hamil tua dan ayahanda sakit keras yang kemudian berujung meninggal dunia, saya ada di titik nadir senadir-nadirnya. Bagaimana tidak? Saya menghabiskan waktu 2 tahun untuk membangun eFishery, mengerahkan semua modal dan energi, tapi saat itu sudah di ujung tanduk kebangkrutan; dan jika resiko itu terwujud, saya tidak memiliki pendapatan sama sekali untuk menghidup istri, anak, ibu, dan adik-adik. Saya ada di titik nadir senadir-nadirnya. However, the good thing about the rock bottom: the only way is up.

Di saat saya mencoba menerapkan framework risk/reward ratio tadi, saya diingatkan kembali ke fakta yang fundamental tentang hidup. Bahwa, seburuk-buruknya resiko adalah sesuatu yang pasti terjadi. Dan sebaik-baiknya reward adalah sesuatu yang bertahan berkelanjutan. Apa maksudnya? Ya, jika saja semua resiko yang tadi saya takutkan terjadi, ujung-ujungnya resiko terbesar hanya kematian, tidak lebih, tidak juga kurang. Semua hal terkait reputasi, kegagalan, itu tidak ada yang ingat dan peduli kecuali kita sendiri. Dan sekalipun ada, waktu juga akan membuatnya lupa. Coba saja ingat-ingat, apa kita tahu kalau lima puluh tahun lalu ada pengusaha gagal yang ditinggal keluarganya, menanggalkan hutang, kemudian mati mengenaskan, kelaparan sendirian? Tidak, kan? Padahal, bisa jadi ada. Ini resiko terburuk yang sama yang saat itu saya takutkan akan terjadi. Dan saat menempatkan ke perspektif ini, semuanya jadi tidak berarti. Karena, semua hal, tanpa terkecuali, akan hilang ditelan bumi.

Di sisi lain, reward jika apa yang saya perjuangkan ini berhasil justru besar. Di level individual dan material, kalau saya lanjut berjuang, setidaknya saya bisa memutus rantai kesulitan ekonomi di keluarga saya, dimana anak cucu saya kelak bisa hidup lebih layak. Di level sosial serta idealisme, karena saya masih ingin berkontribusi untuk membasmi kelaparan, reward-nya lebih besar lagi dari itu, bisa mengubah tatanan produksi pangan yang akhirnya membuat transformasi untuk masa depan. Di level spiritual, jika karya ini menjadi pahala, ya ini jadi modal saya untuk masuk surga. Jadi, resikonya hanya mati yang ujungnya juga pasti terjadi, tapi rewardnya, di segala macam dimensi, sangat besar. Jika didalami lagi, di banyak hal yang memang mendasar, reward-nya jauh melebihi resikonya. Jadi, atas dasar itu, saya bangkit dan terus berjuang.

Itulah kenapa, saya percaya, dengan atau tanpa framework kalkulasi resiko yang canggih seperti apapun, kita bisa membangun mental model untuk bisa berani mengambil resiko. Karena, mayoritas resiko bisa dikelola, semua resiko terburuk juga ujungnya pasti terjadi; semua orang akan mati, tinggal apa kita berani memilih untuk bisa benar-benar hidup.

--

--